Diri Kita Adalah Apa Yang Kita Fokuskan

Syahril Syam

Oleh: Syahril Syam *)

Profesor Michael Merzenich, Ph.D., dari San Francisco, yang merupakan peneliti terkemuka dunia tentang plastisitas otak, menunjukkan bahwa pembentukan koneksi saraf otak terjadi hanya ketika perhatian diberikan pada suatu stimulus. Semua jenis stimulasi memang menumbuhkan sirkuit otak baru, tetapi jika kita tidak memperhatikan atau memfokuskan pada suatu rangsangan, neuron tidak akan pernah membentuk hubungan yang kuat dan langgeng. Dengan kata lain, seluruh pikiran dan hati kita mesti hadir pada suatu hal agar kemudian terjadi ikatan antar sel otak yang kuat. Dan ketika ikatannya sangat kuat, maka terbentuklah diri kita sebagaimana yang difokuskan.

Saat mata kita tertuju pada suatu sosok yang menarik perhatian, maka saat itu fokus kita sepenuhnya tertuju pada sosok tersebut. Pikiran dan hati hadir sepenuhnya kepada sosok itu. Mata kemudian mengabaikan berbagai hal yang dilihat, telinga pun menjadi seolah tuli dari berbagai hal yang terdengar. Kita menjadi abai terhadap berbagai rangsangan eksternal lainnya, karena sepenuhnya terfokus pada sosok itu. Maka semua hal yang diabaikan akan membuat otak tidak perlu membuat koneksi sinaptik selain koneksi yang menjadi perhatian aktifnya.

Dari hal ini, dapat menjadi renungan bagi diri kita bahwa apakah sajakah yang dalam sehari semalam, selalu menjadi fokus kita? Apakah sajakah yang pikiran dan hati kita selalu hadir sejak mulai membuka mata di pagi hari hingga menutup mata di malam hari? Ketika seseorang mudah merasa terganggu dengan hal-hal kecil, dan kemudian itu memicu ia menjadi selalu mudah marah, maka ia (tanpa sadar) telah membentuk dirinya menjadi orang pemarah. Karena di situlah pikiran dan hatinya hadir. Di situlah seluruh dirinya terfokus dan menyebabkan hubungan antar sel otaknya menjadi sangat kuat terkait bagaimana cara menjadi seorang pemarah.

Jika seseorang mudah khawatir dan cemas akan hal-hal kecil. Dan dirinya (tanpa disadari) selalu terfokus untuk mengkhawatirkan berbagai hal, mulai dari khawatir terhadap pasangannya, anaknya, berbagai hal di rumah, hingga urusan pekerjaan di luar rumah, maka ia membentuk dirinya menjadi seorang pencemas. Begitu pula ketika seseorang menghadapi kegagalan, dan kemudian seluruh pikiran dan hatinya tenggelam ke dalam kegagalan yang berlarut-larut, maka ia (tanpa disadarinya) telah membentuk dirinya menjadi seorang yang pesimis.

Saat pikiran dan hati larut ke dalam berbagai masalah dan merasa diperlakukan tidak adil oleh kehidupan, maka ia (tanpa sadar) telah membentuk dirinya menjadi orang yang depresi. Tentu saja semua pembentukan itu melalui perjalanan waktu. Artinya, semakin sering seseorang memfokuskan pikiran dan hatinya kepada sesuatu, maka lama kelamaan ia membentuk dirinya sesuai dengan apa yang difokuskannya.

Otak kita bersifat plastis, dan karenanya akan selalu berubah sesuai dengan apa yang selalu kita fokuskan. Hal ini juga berarti kita memiliki kehendak bebas untuk memilih. Kita bisa memilih membentuk ikatan antar sel otak yang destruktif ataukah konstruktif. Jadi kenapa tidak berusaha memilih bahagia? Karena kita bisa secara sadar membuat pikiran dan hati kita untuk fokus pada hikmah positif di balik setiap peristiwa kehidupan.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *