Opini  

Demokrasi Religius: Tren Posmodernisme dan Post Strukturalisme Barat dan Islam di Era Kontemporer

Prof. Dr. Mohammad Azhar. MA

Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA, Dosen FAI-Pascasarjana UMY dan LARI (Lingkar Akademisi Reformis Indonesia)

Tradisi filsafat sudah lama dimulai pada era Yunani (Greece tradition, classical Western). Tradisi filosofis ini sudah ada jauh sebelum Nabi Isa lahir (BC). Penting dicatat: tradisi berpikir kritis tersebut masih bersifat local knowledge, belum menjadi global knowledge

Tradisi filsafat baru menjadi tradisi global, pasca para filosof Islam, terutama era Dinasti Abasiyah (Abasid Dinasty) pada puncak peradaban Islam abad 13 M, dimana para ulama melakukan proses tarjamah/transliterasi warisan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.

At that time, bahasa Arab sudah menjadi bahasa global di dunia perguruan tinggi, Timur dan Barat. Sementara orang Barat masih belajar mengeja dalam tradisi English language dll. Pendek kata, bahasa Arab sudah menjadi bahasa ilmiah kelas dunia, sedangkan bahasa Yunani, English, Spain, dll masih ndeso.

Era Abasiyah sering disebut sebagai the Dark Age of Europe or Western, dan dalam era yang sama, sebagai the Golden Age of Islam

Unfortunately, kemajuan tradisi peradaban filsafat dan sains Islam mulai mengalami kemunduran, mulai abad 14-20. Sebaliknya, peradaban Barat mulai maju, terutama sejak abad 14-20 itu juga. Para penemu ilmu dan sains mengalami kemunduran di dunia Islam, di Barat modern justru mulai bermunculan.

Popularitas para pendekar IImu dan sains muslim seperti: al-Gazhl, ibn Khaldun, al-Khawarizm, Averroes, Avecienna, ibn Maskawaih, al-Farabes, dll yang rata-rata mereka para pendekar filsafat juga, mulai tenggelam dalam limbo sejarah. Dunia Barat mulai asyik dengan filsafat dan sains, dunia Islam malah bersibuk ria dengan TBC (takhayul, bid’ah, khurafat) yang irasional.

Warisan peradaban sains dan filsafat Islam menjadi objek kajian para ilmuan Barat. Sebaliknya, dunia Islam mulai memusuhi tradisi sains, filsafat dan kritisisme lainnya. Dunia Islam terperosok dalam kubangan TAQLIDISME yang berkepanjangan selama 700 tahun. Kata almarhum Prof. Fazlur Rahman, dengan gemas: “Umat Islam tertidur 1000 tahun”.

Kabar baiknya, tradisi filsafat masih dan terus bertahan di dunia Syiah Iran (10% populasi muslim dunia) dan berimplikasi pada kuatnya fondasi pengembangan sains. Sedangkan di dunia Sunni (90% muslim dunia), tradisi filsafat semakin melemah, berimplikasi pada tumpulnya metode berpikir kritis kaum Sunni dan lemahnya sains.

Kemajuan Modernisme Barat karena berbasis pada tradisi filsafat Empirisisme-Positivisme. Namun belakangan berimplikasi pada dehumanisasi sosial. Barat kini mulai mengalami pertobatan filosofis, bertransformasi ke filsafat Posmodernisme, post-positivisme, post-strukturalisme dan post2 lainnya. Penting dicatat bersama bahwa semua perkembangan sains, dll selalu berbasis pada tradisi filsafat yang kuat.

Untuk Islam Indonesia yang rasional dan modern di abad 20 ini, moderatisme keberagamaan dan kebangkitan berfikir filosofis-saintifik, banyak berhutang budi pada warisan pemikiran kritis filosofis ONTOLOGIS, dan historis, yang banyak diwariskan oleh almarhum Nurcholish Majid, Mukti Ali, Gus Dur, Buya Syafii Maarif, Kang Jalal, Amien Rais, dll.

Untuk tataran AKSIOLOGIS, Pemikiran kritis-empiris-aplikatif, Islam Indonesia banyak diwariskan oleh ulama seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Aysari, dll yang berimplikasi pada warisan peradaban material, seperti ribuan lembaga pendidikan, kesehatan, madrasah, pesantren, ekonomi umat, dll.

Nowadays, dinamika filsafat Islam di Indonesia semakin mengembangkan kajian-kajian EPISTEMOLOGIS-METODOLOGIS, sebagaimana yang terlihat dalam banyak disertasi para Doktor muda di IAIN/UIN. Kajian filosofis epistemologis ini juga mampu meredam bahkan mengeliminasi tren Talibanisme di Indonesia. Wallahu a’lam bisshawab.

[red]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *