Pemerintah Stop Sementara Penggunaan Obat Kemasan Sirop

foto ilustrasi detikcom

KINERJAEKSELEN.co, Jakarta  – Adanya cemaran bahan beracun pada zat pelarut obat sirop ditengarai jadi penyebab gangguan ginjal akut pada balita. Pemerintah stop obat-obatan dalam kemasan sirop.

Sampai Kamis (20/10/2022) tercatat ada 206 anak balita yang dinyatakan terkena penyakit langka dengan gejala accute kidney injury (AKI), gangguan ginjal akut, di Indonesia. Sebagian berlanjut ke kondisi gagal ginjal dan menimbulkan 99 kasus kematian. Penyakit langka ini dilaporkan muncul di  20 provinsi di Indonesia.

‘’Dalam satu bulan terakhir ini saja ada 35 kasus kematian anak balita dengan gejala AKI. Sudah 99 balita yang meninggal. Mereka itu adalah anak-anak kita, cucu-cucu kita,” ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, kepada wartawan saat menghadiri acara Hari Kesehatan Nasional di Kota Serang, Banten, Kamis (20/10/2022).

Adanya gejala  serangan AKI pada anak balita itu mulai marak terdengar sejak Agustus lalu, meski laporan medis secara sporadis telah muncul sejak Februari 2022. Para dokter melaporkan bahwa sebelum mencapai tahap gagal ginjal, anak-anak balita itu mengalami gejala diare, mual, muntah, demam selama 3–5 hari, batuk, pilek, dan gampang mengantuk.

Air seni pasien bocah itu berubah warna, menjadi keruh kecoklatan, sebelum akhirnya air seni itu berkurang, merosot  jumlahnya, bahkan pada tahap yang parah para pasien tidak bisa buang air kecil sama sekali. Semua berujung pada kondisi AKI, dan sebagian berlanjut ke gagal ginjal.

Laporan yang sama muncul dari Gambia, sebuah negara di Afrika Barat. Sampai awal Oktober 2022 lalu, disebutkan 70 balita Gambia meninggal dengan gejala AKI. Laporan pun sampai ke WHO, yang kemudian bergegas  melakukan penelitian. Tim ahli dari Organisasi Kesehatan Dunia itu mencurigai adanya bahan berbahaya yang merusak ginjal pada obat sirop yang dikonsumsi anak-anak balita itu.

Maka, 23 sampel obat sirop diperiksa. Hasilnya, empat produk dinyatakan berada di bawah standar dan harus ditarik dari peredaran. Dari empat sampel produk itu ditemukan ada senyawa berbahaya yakni diethylene glycol dan/atau ethylene glycol. Diduga kedua senyawa adalah hasil ikutan (bahan impurities atau kotoran) dari Polyethylene Glycol yang digunakan sebagai pelarut bahan aktif obat. Bahan kotoran itu muncul dalam konsentrasi yang jauh di atas ambang aman.

Atas temuan itu, Pemerintah Gambia pun menyetop empat produk obat batuk-pilek yang diimpor dari perusahaan farmasi di India itu. Keempat produk tersebut adalah Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, serta Magrip N Cold Syrup. Sebelumnya, Polyethylene Glycol biasa digunakan sebagai pelarut obat. Senyawa tersebut tidak berbahaya dan berguna untuk meningkatkan kelarutan bahan aktif obat.

Kementerian Kesehatan RI bekerja sama dengan Ahli Epidemiologi, IDAI, Farmakolog, dan Pusat Labratorium Forensik (Puslabfor) Polri harus segera melakukan pengecekan atas sinyalemen keracunan obat itu. Darah sejumlah pasien balita dengan gejala AKI itu dianalisis di laboratorium.

Hasilnya, ditemukan bahan-bahan berbahaya yang berupa ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), serta ethylene glycol butyl ether (EGBE).

‘’Kemudian kita datangi rumah mereka, kita minta  obat-obat sisa yang mereka minum, dan ternyata mengandung bahan-bahan berbahaya tersebut,” ujar Menkes Budi Gunadi.

Kemenkes telah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Temuan itu pun ditindaklanjuti oleh BPOM, sebagai pemegang otoritas atas peredaran produk farmasi, dengan melakukan penarikan obat-obat berbahaya.

‘’Supaya bisa cepat, perlu dipertegas (oleh BPOM), agar jelas obat-obatan mana yang harus kita tarik. Karena yang meninggalnya puluhan per bulan, dan ini yang bisa terdeteksi kita sudah sekitar 35 sebulan,” ungkap Menkes Budi.

Untuk meningkatkan kewaspadaan dan pencegahan, Kemenkes sudah meminta tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/sirop, sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas. Kemenkes juga telah meminta seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk cair/sirop kepada masyarakat sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas.

‘’Kemenkes mengimbau, masyarakat untuk pengobatan anak, sementara waktu tak mengonsumsi obat dalam bentuk cair/sirop tanpa berkonsultasi dengan tenaga kesehatan,” tutur dokter Syahril, Juru Bicara Kementerian Kesehatan. Sebagai alternatif, kata dokter Syahril, bisa digunakan bentuk sediaan yang lain, seperti tablet, kapsul, suppositoria (anal), atau lainnya.

Dokter Syahril pun tegas menolak desas-desus yang mengaitkan gejala gagal ginjal pada balita itu dengan vaksinasi Covid-19. ‘’Sebagian besar dari pasien AKI ini adalah balita usia 1–1,5 tahun dan vaksinasi  itu baru dilakukan pada anak-anak usia 6 tahun ke atas,’’ ujarnya.

Untuk memberikan perawatan yang standar terbaik, Kemenkes telah menerbitkan pedoman untuk penanganan pasien balita dengan gejala AKI. Pedoman itu dituangkan ke dalam Keputusan Direktur Jenderal Yankes (Pelayanan Kesehatan) nomor HK.02.02./2/I/3305/2022 tentang Tata Laksana dan Managemen Klinis atas Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) pada Anak. Keputusan ini telah dibagikan ke seluruh fasilitas pelayanan kesehatan sebagai bagian peningkatan kewaspadaan.

Fenomena gangguan ginjal akut itu tercatat mulai muncul Januari lalu dan semakin banyak terjadi dan dilaporkan belakangan ini. Sejumlah rumah sakit di Jakarta telah merawat 71 anak balita yang mengalami serangan gangguan ginjal itu. Tak semua pasien adalah warga Jakarta.

Dari 71 pasien itu, 49 anak dirawat di RS Pusat Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ada catatan pilu di mana sebanyak 31 pasien (63 persen) tak bisa diselamatkan. Sebelas orang masih dirawat dan tujuh lainnya telah dinyatakan sembuh dan pulih. Di RS Sardjito Yogyakarta ada enam pasien yang sebagian dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Satu pasien meninggal dan yang lain masih dirawat.

Penghentian peredaran obat dalam sediaan sirop ini bersifat sementara. Pemerintah akan kembali mengizinkan peredarannya, bila sudah ada jaminan bahwa semua kandungannya aman

Penulis: Putut Tri Husodo

Sumber: Indonesia.go.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *