HUKUM  

Amar Zoni Ingin Dihadirkan Langsung di Sidang Kasus Narkoba

Foto tangkapan layar sidang kasus narkoba Amar Zoni

KINERJAEKSELEN.co, Jakarta – Kasus narkoba yang menjerat aktor Amar Zoni, memasuki babak baru. Hari ini, Kamis (23/10/2025) Amar menjalani sidang dengan agenda pembacaan dakwaan.

Di awal sidang, Amar protes ke majelis hakim karena tidak dihadirkan secara langsung di dalam sidang. Amar menjalani sidang melalui zoom dari Lapas Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

“Kalau dari terdakwa enam selaku apa tadi, perwakilan gitu ya, alasannya kenapa minta-minta sidang secara offline?” tanya Hakim Ketua PN Jakarta Pusat Dwi Elyarahma Sulistiyowati dalam sidang itu.

“Karena menurut saya pemberitaan ini kan sudah terlalu besar, Yang Mulia. Pemberitaan yang tidak sesuai dengan faktanya nanti, dan ini harus dihadirkan, sama seperti yang tadi sudah dijelaskan oleh kuasa hukum saya, gitu kan,” jawab Ammar.

Agar publik mengetahui duduk masalah yang sebenarnya, Ammar menyatakan ingin sidang digelar secara terbuka dengan kehadirannya secara langsung. Menurut Ammar, kehadirannya secara langsung sangat perlu  untuk lebih maksimal dalam membela diri.

“Saya mau karena ini adalah sidang terbuka, ya, dan ini karena saya membawa nama saya juga, membawa nama keluarga juga, jadi saya mau ini dihadirkan langsung offline. Jadi agar semuanya tahu, gitu loh, agar semuanya bisa melihat,” ujar Ammar.

Tercatat, Ditjen Pemasyarakatan sudah memindahkan enam narapidana yang tergolong high risk ke Nusakambangan. Mereka adalah Ammar zoni beserta lima napi lain terkait kasusnya.

Sebagai narapidana high risk lainnya yang dipindahkan ke Nusakambangan, Ammar Zoni dkk akan di tempatkan di Lapas Super Maksimum dan Maksimum Security. Mereka diberikan pengamanan dan pembinaan super maksimum.

Amar Zoni bukan pengedar narkoba

Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) memastikan kasus Ammar Zoni yang disebut sebagai pengepul narkoba bukanlah peredaran narkoba.

“Ini salah satu mis yang harus diluruskan bukan peredaran narkoba, tetapi hasil daripada penggeledahan yang dilakukan secara rutin kepada seluruh lapas yang ada di Indonesia dalam satu bulan dua kali,” kata Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan RI (Kemenimipas) Brigjen Pol (Purn) Drs Mashudi.

Mashudi menyebut, pada saat penggeledahan di kamar lapas ditemukan barang bukti narkoba jenis ganja satu linting.

“Pada saat itu, satu kamar terdapat tujuh orang dan salah satunya adalah Ammar Zoni. Ditemukan ganja satu linting,” ujarnya.

Hukum yang Disalahpahami

Kasus yang menjerat Amar Zoni memantik perhatian publik. Sebagai pemakai narkoba, seharusnya Amar Zoni direhabilitasi.

Menurut mantan Kepala BNN, Komjen Pol. Dr. Anang Iskandar, undang-undang sudah memberi ruang bagi pendekatan yang lebih manusiawi.

“UU Narkotika jelas menyebut bahwa penyidik, penuntut umum, dan hakim diberi kewenangan menempatkan penyalahguna ke lembaga rehabilitasi,” kata Anang, dikutip dari Hariankami.com.

“Indonesia bisa jadi negara gagal dalam perang melawan narkotika,” ujarnya, seraya menekankan kata gagal bukan karena kalah, tapi karena salah menafsirkan strategi perang itu sendiri.

Menurut Anang, kesalahan itu sudah berlangsung lama, negara terlalu sibuk memenjarakan penyalahguna narkoba, bukan menyembuhkan mereka.

“Jomplangnya penanganan narkotika karena penegakan hukum lebih menitikberatkan pada pemenjaraan daripada rehabilitasi,” kata mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kabareskrim RI itu.

Ia menekankan, secara yuridis penyalahguna tidak boleh ditahan. “Rehabilitasi itu juga bentuk upaya paksa—sama dengan ditahan. Bedanya, di rehabilitasi mereka disembuhkan.”

Masa menjalani rehabilitasi pun dihitung sebagai masa hukuman.

Tapi praktik di lapangan berbeda. Banyak penyalahguna tetap dijebloskan ke penjara, bercampur dengan pengedar dan penjahat kriminal lainnya.

Menurut Anang, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Single Convention on Narcotic Drugs tahun 1961 lewat UU No. 8 Tahun 1976.

Artinya, negara punya kewajiban internasional untuk memandang penyalahguna sebagai pasien adiksi, bukan kriminal.

“Sayangnya, dalam implementasi hukum nasional, amanat itu tertinggal di tumpukan pasal. “UU 9/1976 dan UU 22/1997 tetap mengkriminalisasi penyalahguna. Padahal mereka ini orang sakit,” kata Anang.

Dampaknya terasa sekarang. Alih-alih menyembuhkan, penjara malah menjadi pabrik kecanduan baru.

Menurut Anang, ukuran keberhasilan perang melawan narkoba bukanlah banyaknya orang yang dipenjara, tetapi banyaknya korban yang diselamatkan.

“Kalau ukurannya jumlah tangkapan, maka kita hanya membesarkan ego institusi, bukan menyelesaikan masalah bangsa,” ucapnya.

[jgd]

banner 400x130

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *