Oleh Achmad Nur Hidayat — Ekonom & Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
Mengapa Industri Tekstil Kita Lesu?
Mengapa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia terus melemah?
Apakah semata karena banjir impor dari China dan Vietnam? Jawabannya: tidak.
Banjir impor memang memperparah keadaan, tetapi akar masalahnya jauh lebih dalam—menyangkut efisiensi, teknologi, biaya energi, dan kebijakan yang tak berorientasi jangka panjang.
Selama dua tahun terakhir, pabrik-pabrik di Jawa Barat dan Jawa Tengah gulung tikar, ribuan pekerja dirumahkan, dan ekspor menurun tajam.
Mesin-mesin tua, bahan baku impor mahal, serta biaya logistik dan energi tinggi membuat produk lokal tak mampu bersaing.
Sementara itu, pengawasan terhadap impor e-commerce masih lemah, membuat pasar domestik dibanjiri pakaian murah lintas negara yang nyaris tanpa bea masuk.
Akar Masalah: Struktur yang Tidak Kompetitif
Kelesuan TPT bukan sekadar karena harga barang impor lebih murah, melainkan karena struktur industrinya tak efisien.
Pertama, 70% bahan baku masih impor, membuat biaya sangat sensitif terhadap fluktuasi kurs.
Kedua, produktivitas stagnan akibat mesin tua—banyak yang sudah berumur lebih dari dua dekade.
Ketiga, regulasi upah dan tenaga kerja belum fleksibel mengikuti dinamika industri global.
Akibatnya, margin usaha tergerus, investasi baru enggan masuk, dan pelaku lama kehilangan daya tahan. Kondisi ini membentuk spiral menurun: biaya tinggi, daya saing turun, penjualan melemah, PHK meningkat—dan siklus pun berulang.
Dampak Sistemik: Risiko Ekonomi dan Sosial
Industri tekstil bukan sekadar urusan pakaian.
Ia adalah urat nadi ekonomi rakyat. Lebih dari 3 juta pekerja menggantungkan hidup di sektor ini, sebagian besar di kawasan industri padat karya.
Bila sektor ini terus tertekan, dampaknya menjalar ke konsumsi domestik, UMKM konveksi, hingga petani kapas dan transportasi.
Kelesuan TPT juga mengancam neraca perdagangan. Ketika ekspor turun dan impor naik, defisit transaksi berjalan bisa melebar.
Dalam jangka panjang, Indonesia berisiko mengalami deindustrialisasi prematur—beralih ke ekonomi konsumsi tanpa pernah menjadi negara industri tangguh.
Prospek Dua Tahun ke Depan: Masih Ada Harapan
Secara jangka pendek, prospek TPT masih berat karena permintaan ekspor dari AS dan Eropa menurun.
Namun, ada setitik harapan: pasar domestik dan regional ASEAN tumbuh, dan tren fesyen berkelanjutan (eco-fabric, modestwear, serat bambu, tenun alami) mulai naik daun.
Indonesia sebenarnya punya peluang unik bila mampu memadukan nilai tradisional dengan inovasi ramah lingkungan.
Namun peluang ini hanya bisa terwujud bila pemerintah segera memperbaiki fondasi: menekan biaya energi, mempermudah ekspor, dan membatasi banjir impor ilegal.
Jika tidak, dua tahun ke depan akan menjadi masa “survival mode”—di mana yang bertahan hanya segelintir pemain besar.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Menyelamatkan TPT bukan dengan proteksi semata, tetapi melalui reindustrialisasi cerdas.
Ada tiga langkah utama:
Pertama, restrukturisasi mesin dan insentif investasi. Pemerintah perlu memberi super-deduction tax bagi pelaku yang mengganti mesin tua dengan teknologi hemat energi, seperti dilakukan Korea Selatan dan Vietnam.
Kedua, penertiban impor digital. Sistem pengawasan lintas kementerian harus menyatukan data bea cukai, pajak, dan marketplace agar barang impor dikenai beban yang adil.
Tanpa itu, pelaku lokal kalah sebelum bertanding.
Ketiga, penyesuaian upah berbasis produktivitas dan reskilling tenaga kerja.
Pemerintah dapat menciptakan Textile Reskilling Program untuk melatih pekerja agar siap dengan mesin dan model bisnis baru.
Kenaikan upah pun sebaiknya diimbangi dengan peningkatan efisiensi dan keterampilan.
Selain itu, pembangunan klaster industri tekstil terintegrasi penting untuk menekan biaya logistik dan energi.
Kawasan seperti Majalengka, Pekalongan, atau Pasuruan dapat dikembangkan menjadi textile district dengan fasilitas hulu-hilir yang saling terhubung.
Menjahit Ulang Fondasi Ekonomi Nasional
Kelesuan industri tekstil adalah cermin lemahnya strategi industrialisasi Indonesia.
Kita terlalu lama bergantung pada bahan baku impor dan proteksi sesaat, tanpa membangun daya saing nyata.
Jika kondisi ini dibiarkan, bukan hanya pekerja yang kehilangan penghasilan—tetapi bangsa ini akan kehilangan kemampuan memproduksi kebutuhan dasarnya sendiri.
Namun harapan belum pudar. Dengan reformasi industri yang fokus pada efisiensi, teknologi, dan keadilan pasar, tekstil bisa kembali menjadi simbol kemandirian ekonomi nasional.
Seperti kain yang robek, industri tekstil Indonesia masih bisa dijahit ulang—asal pemerintah mengganti benang lama dengan yang baru: kebijakan yang berani, berpihak pada produktivitas, dan menatap masa depan.
Sebab bangsa yang tak mampu membuat pakaiannya sendiri, lambat laun akan kehilangan kepercayaan pada kekuatannya sendiri.
End












