Ekonom Didik J Rachbini Kritik Keras Guyuran Dana Rp200 Triliun ke Bank Himbara

Ekonom Senior INDEF Prof. Didik J Rachbini [ Foto Inilah.com]

KINERJAEKSELEN.co, Jakarta – Ekonom senior INDEF Didik J Rachbini, menyampaikan kritik keras kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang mengalihkan dana simpanan pemerintah sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke lima bank milik negara (Himbara) pada 15 September 2025.

Kebijakan ini diumumkan pada 12 September 2025, dengan dana tersebut berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA), yang dialokasikan ke Bank Mandiri: Rp 55 triliun, Bank Rakyat Indonesia (BRI) Rp 55 triliun, Bank Negara Indonesia (BNI) Rp 55 triliun, Bank Tabungan Negara (BTN) Rp 25 triliun dan Bank Syariah Indonesia (BSI) Rp 10 triliun

Tujuan kebijakan ini diklaim untuk mendukung likuiditas sistem keuangan, meningkatkan penyaluran kredit, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Didik Rachbini yang juga Rektor Universitas Paramadhina ini menilai langkah tersebut sebagai “praktek jalan pintas” yang melanggar konstitusi dan tiga undang-undang sekaligus, karena anggaran negara bersifat publik dan tidak boleh dikelola secara spontan seperti anggaran swasta.

Didik J. Rachbini menekankan bahwa pengelolaan anggaran negara harus melalui proses legislasi yang ketat, melibatkan DPR, dan tidak boleh dilakukan sepihak oleh eksekutif.

Menurut Didik, kebijaan terseut telah melanggar UUD 1945 Pasal 23. Pasal ini mengatur bahwa pembiayaan negara harus berdasarkan APBN yang disusun setiap tahun oleh Presiden dan disetujui DPR. Pengalihan dana Rp 200 triliun ke perbankan untuk kredit industri atau individu dianggap sebagai pengeluaran yang tidak melalui proses ini, sehingga melemahkan prinsip ketatanegaraan.

Kemudian, lanjut Didik, pelanggaran UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang ini mengatur prosedur pengelolaan keuangan negara secara keseluruhan.

Didik menyatakan bahwa kebijakan spontan ini melanggar ketentuan tentang alokasi anggaran yang harus transparan dan akuntabel, bukan disalurkan melalui kredit perbankan yang lepas dari pengawasan APBN.

Pelanggaran UU APBN (setiap tahun). APBN sebagai undang-undang tahunan menentukan alokasi dana untuk program pemerintah.

Menurut Didik, dana Rp 200 triliun seharusnya dialokasikan melalui kementerian/lembaga atau pemerintah daerah setelah disetujui DPR, bukan langsung ke bank untuk tujuan kredit umum.

Pelanggaran UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (khususnya Pasal 22 ayat 4, 8, dan 9).  Ayat 4 membolehkan Menkeu membuka rekening di bank umum, tetapi hanya untuk operasional APBN yang telah ditetapkan DPR, bukan untuk program baru seperti penyaluran kredit industri.

“Ayat 8 dan 9 mengatur bahwa dana perbendaharaan harus dikelola secara terpusat dan tidak boleh digunakan untuk tujuan di luar APBN. Pengalihan ke Himbara dianggap melanggar ini, karena dana tersebut berpotensi disalurkan sebagai kredit bebas tanpa pengawasan ketat,” kata Didik.

Didik menegaskan, anggaran negara bukan anggaran privat atau anggaran perusahaan. Karena itu, proses penyusunan, penetapan, dan alokasinya harus dijalankan sesuai aturan main ketatanegaraan.

Ia juga mengkritik bahwa kebijakan ini mirip dengan praktik pemerintahan sebelumnya yang melemahkan institusi, dan berpotensi menimbulkan risiko korupsi atau pengelolaan tidak optimal.

Didik Rachbini secara tegas meminta Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan menghentikan kebijakan ini.

“Meskipun tujuannya baik, penempatan anggaran publik (dana pemerintah) di perbankan melenceng dari amanah Pasal 22 khususnya ayat 8 dan 9 UU No. 1/2004,” tegasnya.

“Saya menganjurkan agar presiden turun tangan untuk menghentikan program dan praktek jalan pintas seperti ini karena telah melanggar setidaknya 3 undang-undang dan sekaligus konstitusi. Kita tidak boleh melakukan pelemahan aturan main dan kelembagaan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya,” ujarnya.

Ia menilai kebijakan Purbaya seperti impulsif dan terkesan spontan, tidak melalui proses legislasi yang baik melalui APBN dan diajukan dengan sistematis berapa jumlah yang diperlukan dan program apaa saja yang akan dijalankan, bukan karena harus menjawab ketika didoortstop wartawan.

“Tidak ada lagi program yang diambil dari ingatan sepintas yang keluar dari wawancara spontan yang dicegat atau “doorstop”,” tutupnya.

Hingga saat ini, belum ada respons resmi dari Kementerian Keuangan atau pemerintah terkait kritik dari ekonom senior ini.

[jgd/red]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *