Opini  

Jaman Edan

ilustrasi Huru Hara Akhir Zaman, di Zaman Edan Ronggowarsito (Ilustrasi istimewa)

Catatan D. Supriyanto Jagad N *)

Saiki wis titi wancine jaman edan, yen ora edan ora keduman ( saat ini memasuki jaman gila, jika tidak ikut gila tidak ikut kebagian)

“Jaman edan” merupakan sebuah ungkapan yang merujuk pada zaman di mana moralitas dan nilai-nilai luhur mengalami kemerosotan. Hal ini ditandai dengan perilaku tidak adil, mementingkan diri sendiri, suka memfitnah, adu domba dan menjatuhkan orang lain demi kepentingannya sendiri dan kerusakan norma-norma sosial. Istilah ini berasal dari Serat Kalatidha, sebuah syair karya pujangga besar Jawa, Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang menggambarkan kondisi gelap dan penuh kekacauan sosial.

Serat Kalatidha adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita berbentuk tembang macapat. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi.

Penggalan Serat Kalatidha yang paling terkenal adalah bait ketujuh, yaitu “Amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu édan nora tahan, yén tan milu anglakoni, boya kaduman mélik, kaliren wekasanipun, dilalah kersa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang éling lawan waspada”. Bait ini menggambarkan situasi “Zaman Edan”, di mana nilai-nilai moral dan prinsip rusak, serba sulit, dan penuh kebingungan, serta memberikan nasihat untuk tetap “eling lan waspada” (ingat dan waspada).

Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha mengungkap, zaman edan digambarkan sebagai masa di mana: Moralitas dan empati luntur, Kepentingan pribadi lebih diutamakan, bahkan persahabatan dapat berubah menjadi lawan demi keuntungan, Aturan dan norma tidak lagi dipedulikan, Manusia terperosok dalam keduniawian, seperti tergila-gila pada harta dan kekuasaan.

Perilaku seperti ini terjadi dan secara terang-terangan dipertontonkan tanpa rasa malu, sikap tepo sliro, welas asih hilang. Sesama teman seperjuangan pun saling ‘mencengkeram’ demi keuntungan pribadi, tak peduli temannya tersakiti, dipermalukan meski menabrak nilai-nilai kemanusiaan, sing penting wani piro…

Ronggowarsito menggambarkan situasi di mana keadilan menjadi barang langka, orang jujur malah hancur (jujur ajur), dan orang licik atau tidak bermoral justru berkuasa. Berada di jaman gila (edan) serba susah untuk bertindak, karena yang edan (gila) semakin bertambah banyak. Mau ikut gila tidak tahan, tapi kalau tidak ikut tidak akan kebagian. Ini melukiskan bagaimana orang merasa terpaksa ikut melakukan hal buruk agar tidak tertinggal.

Sebagai pujangga Jawa, Ronggowarsito adalah orang yang linuwih, mampu melihat sesuatu yang akan terjadi ke depan.

Meskipun ditulis pada abad ke-19, sindiran dalam Serat Kalatidha masih dianggap relevan dengan kondisi sosial dan politik modern, menjadikannya sebuah karya yang abadi dan sering kali dikutip hingga saat ini.

Pentingnya eling dan waspada: Ronggowarsito menekankan bahwa di tengah “jaman edan” ini, orang yang beruntung bukanlah yang ikut-ikutan gila, melainkan “Luwih begja kang eling lawan waspada” (lebih beruntung orang yang tetap ingat kepada Tuhan dan selalu waspada)

Ramalan “jaman edan” mengacu pada prediksi masa depan yang penuh ketidakadilan, kesewenang-wenangan, serta dominasi orang-orang yang tidak bermoral, sementara orang baik tertindas, dan kondisi sosial-politik memburuk, yang menurut beberapa interpretasi terasa relevan dengan pergumulan politik saat ini melalui gejala korupsi, teror politik, hoaks, dan pragmatisme politik transaksional yang dikuasai modal.

Pejabat dan pihak berkuasa merampok uang negara dan tidak mendapatkan sanksi hukum yang setimpal, seringkali bahkan dibebaskan karena kepentingan politik.

Ramalan jaman edan ditandai dengan penyebaran informasi palsu untuk menggiring opini publik dan menghancurkan karakter lawan politik, serta pembungkaman dan kriminalisasi oposisi.

Nilai-nilai moral merosot, hubungan sosial dan pertemanan didasari uang, dan banyak orang yang berkhianat, menciptakan kondisi dunia yang penuh kerepotan. Hukum dijungkir balikkan, bahkan yang seharusnya menjalani vonis hukuman malah melenggang bebas tanpa beban.

Kondisi politik dan sosial yang described dalam ramalan ini banyak dianggap cocok dengan fenomena saat ini, di mana orang yang tidak ikut arus “edan” (kebodohan, ketidakjujuran) akan tertinggal, namun orang yang sadar dan waspadalah yang sebenarnya lebih baik.

Meskipun menggambarkan masa suram, ramalan ini juga memuat harapan akan datangnya pemimpin yang bijaksana, jujur, dan dapat membawa keadilan bagi semua rakyat.

Dalam menghadapi tantangan zaman edan, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat, tidak hanyut oleh kekuatan kapital, dan mampu menjadi teladan dalam memberantas korupsi. Tidak perlu takut intervensi dan menolak cawe-cawe dari pihak lain.

Dalam menjalai hidup di tengah gempuran jaman edan, sikap eling lan waspada harus menjadi pegangan agak kita tidak sesat dan salah jalan.

Eling lan waspada, sebuah pesan moral yang sangat luhur. Sebaik-baiknya kekuasaan yang lupa maka lebih baik kekuasaan yang sadar (eling) akan sandaran nilai dan moral yang mesti jadi panduan serta waspada (hati-hati) dan mawas diri, karena kekuasaan bisa membuat kita tergelincir ke dalam kesewenang-wenangan yang merusak tatanan kehidupan.

Leluhur kita telah mengajarkan prinsip hidup yang benar dengan menjunjung tinggi kebenaran (Satya), memupuk kebersamaan (A’bulo Sibatang), bertindak tanpa pamrih, menjaga harmoni (Tri Hita Karana), memiliki kepatutan (Asitinajang), dan berperilaku jujur dan bijak. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, penuh kasih, dan membawa kebaikan bagi diri sendiri dan masyarakat.

Jangan ikut-ikutan edan, mari mencari bekal untuk perjalanan abadi. Jangan larut dalam kesibukan dunia yang fana dan melupakan kehidupan akhirat yang kekal. Fokus pada persiapan diri dengan memperbanyak amal saleh, meningkatkan takwa, dan introspeksi diri agar tidak “bangkrut” di akhirat nanti, karena kehidupan dunia hanyalah persinggahan sementara menuju kehidupan abadi.

Memperkuat hubungan dengan Allah SWT melalui keimanan dan ketakwaan, karena takwa adalah bekal terbaik untuk akhirat.

Segera mempersiapkan diri mulai dari sekarang, karena kematian bisa datang kapan saja dan perjalanan akhirat sangat panjang dan pasti akan dilalui.

Kita tidak akan pernah tahu sampai sejauh mana perjalanan ini akan berakhir.

Tanjung Barat, 21 September 2025

*) Pekerja budaya, penikmat kopi pahit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *