Shalat: Sekadar Ritual atau Jalan Ruhani Yang Menenteramkan Hati?

Syahril Syam

Oleh: Syahril Syam *)

Penting untuk menyadari terlebih dahulu tentang pengaruh persepsi dan keyakinan (mindset) terhadap tubuh. Penelitian Alia Crum dan Ellen Langer (2007) menunjukkan mindset dapat memperkuat atau bahkan menentukan manfaat dari suatu aktivitas. Pelayan hotel yang diberi mindset bahwa pekerjaan mereka adalah olahraga, tubuh mereka benar-benar menyesuaikan: berat badan turun, tekanan darah membaik, dan kesehatan meningkat, meski aktivitas fisik mereka tidak berubah sama sekali. Nah, apa persepsi kita tentang shalat? Apakah sekadar ritual semata ataukah jalan ruhani yang merupakan mi’raj kepada Allah SWT?

Untuk memulai perubahan mindset ini, ijinkan penulis berbagi sedikit pengalaman dalam mempelajari dunia pikiran dan terapi; mulai dari mengikuti pelatihan pikiran dan terapi yang hanya berdurasi dua hari, tujuh hari, hingga sembilan hari full hingga malam; mulai dari harga pelatihan senilai jutaan, belasan juta, hingga puluhan juta. Dan kalau ditarik benang merahnya, semua teknik terapi modern sebenarnya berputar di sekitar satu tujuan besar: membantu manusia kembali pada kondisi alami yang lebih sehat, bebas, utuh, dan hidup dengan rasa bermakna. Masing-masing pendekatan memiliki istilah dan teknik yang berbeda, tetapi inti dari semuanya selalu menyentuh aspek yang sama: bagaimana manusia bisa melepaskan beban lama, menata ulang cara berpikir, dan membuka ruang untuk pertumbuhan diri.

Cara yang digunakan bisa melalui perubahan keyakinan atau pola pikir, melakukan proses reprogram bawah sadar, mendorong pembentukan jalur saraf baru di otak, belajar melepaskan keterikatan, melepaskan emosi destruktif, fokus pada hal positif, latihan kesadaran penuh (mindfulness), mengintegrasikan tubuh, pikiran, dan emosi, belajar self-compassion, pemulihan relasi, dan menemukan makna serta transendensi. Lantas bagaimana dengan shalat? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita mesti melihat shalat dari dimensi syariat, tarekat, dan hakikat.

Azizuddin Nasafi, salah seorang urafa di pertengahan abad ketujuh menuturkan, “Syariat adalah perkataan para nabi dan tarekat adalah perbuatan para nabi serta hakikat adalah penyaksian para nabi.” Syariat adalah titik awal. Ia mencakup aturan-aturan lahiriah yang dibawa para nabi, seperti hukum halal–haram, tata cara ibadah, dan aturan kehidupan sehari-hari. Misalnya, melaksanakan shalat, berpuasa, membayar zakat, atau menjauhi makanan yang haram. Semua itu adalah “pintu masuk” ke jalan spiritual. Tanpa mematuhi syariat, ibaratnya seseorang tidak punya tiket sah untuk memulai perjalanan mendekat kepada Allah. Orang yang hanya berhenti di tahap ini disebut ahli syariat – ia taat menjalankan ajaran nabi dalam bentuk hukum, tapi belum mendalami makna batin di baliknya.

Tarekat adalah langkah berikutnya. Kalau syariat baru sebatas tahu aturan dan menjalankannya, tarekat adalah proses menjiwai dan melatih batin agar ibadah tidak sekadar gerakan luar. Misalnya, shalat tidak hanya rukuk–sujud, tapi juga khusyuk dengan hati yang hadir. Dengan kata lain, tarekat adalah metode transformasi diri: menjalankan agama bukan sekadar formalitas, tapi benar-benar menghidupkan ajaran dalam jiwa.

Orang yang berada di tahap ini disebut ahli tarekat – ia sudah masuk lebih dalam, bukan sekadar mengetahui atau mengikuti aturan, tetapi benar-benar berlatih menghayati. Hakikat adalah tujuan akhir. Ini adalah kebenaran sejati yang Allah singkapkan, yaitu pengalaman batin para nabi ketika menyaksikan realitas Ilahi. Misalnya, dalam shalat seseorang bukan sekadar membaca doa, tetapi benar-benar merasakan kehadiran Allah dalam nurani. Pada titik ini, tabir yang menutupi mata hati seakan tersingkap, sehingga seseorang mencapai makrifat – pengetahuan langsung dan mendalam tentang Tuhan. Orang yang sampai di tahap ini disebut ahli hakikat.

Kalau kita melihat shalat hanya sebatas ritual lahiriah, ia tetap sah menurut hukum fiqih. Gerakan dan bacaan yang benar sudah cukup untuk memenuhi syarat formal ibadah. Namun, yang sering terjadi adalah hati tidak ikut hadir. Shalat hanya berlangsung di tubuh, tetapi batin masih sibuk dengan pikiran duniawi.

Dalam kondisi seperti ini, seseorang bisa saja selesai shalat tanpa merasakan ketenangan, seolah-olah shalat tidak memberikan dampak apa pun. Al-Qur’an sudah mengingatkan, “Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” (QS. Al-Ma’un: 4–5). Ayat ini menegaskan bahwa shalat yang kosong dari kesadaran batin kehilangan ruhnya, sehingga tidak membuahkan kedamaian.

Karena itulah, shalat perlu dilihat bukan sekadar ritual ibadah, melainkan juga latihan batin. Pada tingkat tarekat, shalat dijalankan dengan kesadaran penuh, kekhusyukan, dan muhasabah (introspeksi diri). Di sini, hati mulai disentuh. Setiap gerakan dan bacaan menjadi sarana untuk kembali mengingat Allah. Shalat berubah menjadi dzikrullah yang menenangkan batin. Al-Qur’an menegaskan, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra‘d: 28). Maka, shalat pada level ini bukan hanya kewajiban, tetapi juga obat kegelisahan jiwa, terapi batin yang menyeimbangkan pikiran, hati, dan tubuh. Lebih dalam lagi, ada maqam hakikat, dimana shalat menjadi mi‘raj ruhani. Nabi Muhammad SAW menggambarkan shalat sebagai kesempatan “berbicara dengan Rabb-nya”.

Pada level ini, hati seolah-olah berjumpa langsung dengan Allah, sebagaimana sabda Nabi, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Inilah pengalaman batin yang disebut oleh para ‘arif sebagai “rasa pulang”. Hati menemukan asalnya, yaitu Allah, Sang Sumber segala ketenteraman.

Kalau kita memandang secara utuh, shalat ritual atau syariat tetap memiliki kedudukan yang sangat penting. Ia adalah pintu masuk, pondasi dasar dari seluruh perjalanan spiritual. Tanpa syariat, tarekat dan hakikat tidak akan punya pijakan. Syariat bisa dibayangkan seperti pondasi sebuah bangunan. Jika pondasi tidak ada, maka mustahil lantai, dinding, dan atap bisa berdiri kokoh. Dalam konteks shalat, gerakan, bacaan, wudhu, serta syarat sah lainnya adalah bagian dari syariat. Tanpa itu semua, shalat tidak sah, dan dimensi batin apapun yang ingin dicapai tidak memiliki dasar yang benar.

Di atas pondasi ini, ada dimensi tarekat, yaitu sisi batin dari shalat. Tarekat ibarat lantai dan dinding rumah, tempat kita benar-benar hidup dan merasakan pengalaman. Shalat tarekat bukan sekadar rangkaian gerakan, tetapi latihan kesadaran: melatih hati untuk hadir, melatih diri untuk khusyuk, dan membersihkan batin dari kesibukan dunia. Namun, tarekat tidak mungkin dicapai bila syariat ditinggalkan. Kita tidak bisa merasa benar-benar hadir dalam shalat bila kita bahkan tidak menegakkan syariatnya dengan benar. Puncaknya adalah hakikat, kebenaran terdalam yang menjadi tujuan akhir.

Hakikat ini ibarat atap rumah yang menyempurnakan bangunan. Pada tahap ini, shalat menjadi mi‘raj ruhani – perjalanan batin menuju Allah. Hati merasa berjumpa langsung dengan-Nya, seolah berdiri di hadapan Sang Kekasih. Namun, hakikat ini tidak akan mungkin tercapai tanpa melalui tarekat, dan tarekat pun tidak akan mungkin ada tanpa syariat.

Seperti yang disampaikan di atas bahwa terapi modern memiliki beberapa pilar yang ujungnya masuk ke arah penyadaran, pelepasan, penguatan diri, dan menemukan makna. Kalau kita sandingkan dengan shalat, ia menyatukan seluruh elemen itu dalam satu ibadah – tentunya shalat yang dimaksud bukan hanya sekadar ritual ibadah, melainkan shalat sebagai jalan ruhani yang bisa menenteramkan hati.

Ketika kita shalat yang benar, khusyuk, dan benar-benar dihayati, maka mampu membentuk jalur saraf baru dalam otak melalui proses neuroplastisitas. Artinya, dengan mengulang shalat secara rutin, otak kita dilatih untuk menciptakan pola kebiasaan baru yang menenangkan, menyeimbangkan, dan menumbuhkan kualitas diri yang lebih baik. Selain itu, shalat juga mengandung unsur kesadaran penuh (mindfulness), karena setiap gerakan dan bacaan menuntut kehadiran pikiran dan hati di saat itu juga.

Manfaat shalat bahkan bisa dibandingkan dengan berbagai teknik terapi modern. Bedanya, shalat tidak hanya memberi dampak psikologis dan fisiologis – seperti menurunkan stres, menstabilkan emosi, dan meningkatkan fokus – tetapi juga menghadirkan nilai spiritual transenden yang tidak bisa diberikan oleh terapi duniawi manapun.

Dalam shalat, ada keterhubungan langsung dengan Allah, yang menjadi sumber makna dan ketenteraman tertinggi. Jika diteliti lebih rinci, unsur-unsur shalat sangat kaya akan dimensi terapi. Misalnya, takbir dan bacaan menuntut kesadaran penuh, sehingga kita dilatih untuk fokus pada momen sekarang, bukan pada pikiran yang melayang. Saat sujud, ada latihan melepaskan ego, karena posisi tubuh yang paling rendah justru menjadi simbol kepasrahan total kepada Allah.

Kemudian, doa dan bacaan yang berulang berfungsi seperti sugesti bawah sadar. Repetisi kalimat suci yang penuh makna menanamkan pesan positif ke dalam jiwa, mengubah cara kita merespons hidup. Di sisi lain, shalat juga memberi penguatan makna hidup, sebab setiap kali kita shalat, kita mengingat kembali tujuan tertinggi: Allah sebagai arah hidup. Selain itu, shalat juga melatih regulasi emosi. Dengan sabar menunggu waktu shalat, tunduk dalam setiap gerakan, dan ikhlas menerima ketentuan Allah, hati belajar untuk lebih seimbang, lebih kuat, dan tidak mudah dikuasai emosi destruktif.

Terapi modern umumnya berfokus pada fungsi psikologis dan fisiologis manusia. Shalat, di sisi lain, justru menyerap seluruh manfaat itu, lalu menaikkannya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu dimensi spiritual transenden. Ibaratnya, terapi modern hanyalah alat bantu – seperti perangkat tambahan yang membantu menata pikiran dan menyeimbangkan emosi. Sedangkan shalat adalah pusat komando.

Di dalam shalat, bukan hanya pikiran dan emosi yang ditata, melainkan juga tubuh dan jiwa disatukan dalam satu arah yang sama: menuju Allah. Inilah integrasi yang membuat shalat melampaui sekadar terapi, karena ia bukan hanya memperbaiki kondisi manusia, tetapi juga menghubungkannya dengan sumber makna tertinggi.

Dengan demikian, shalat bisa melahirkan ketenteraman, menurunkan stres, memperbaiki kesehatan, dan meningkatkan kesadaran, jika dilandasi mindset yang benar. Shalat bisa dilihat sebagai sebuah kompleksitas terapi menyeluruh: ia menata pikiran, menenangkan emosi, menyehatkan tubuh, dan sekaligus menghubungkan kita dengan sumber makna tertinggi. Itulah sebabnya, shalat yang khusyuk tidak hanya menyelesaikan urusan ibadah, tetapi juga menjadi jalan penyembuhan dan pertumbuhan diri secara utuh. Jika terapi modern bisa disebut sebagai jalan menuju keseimbangan, maka shalat adalah jalan menuju kepulangan – kembali pada asal, yaitu Allah, Sang Maha Menenteramkan.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *