Catatan D. Supriyanto JN *)
Cuitan Ferdinand Hutahaean dalam akun twitternya @FerdinandHutahean3, yang mencuit ‘Allahmu ternyata lemah’ memantik reaksi kemarahan netizen.
Cuitan tersebut dibuat Ferdinand pada Selasa (4/1/2022) kemarin, namun cuitan itu telah dihapus.
“ Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah, harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya. Dialah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela,” demikian bunyi cuitan Ferdinand.
Sontak, cuitan tersebut menuai reaksi kemarahan netizen. Lontaran kemarahan pun ditujukan kepada mantan kader Partai Demokrat ini, dan tagar #tangkap Ferdinand bermunculan sebagai reaksi kemarahan.
“#Tangkap Ferdinand Membuat gaduh. Jika tdk ditangkap akan bermunculan hal2 serupa di lain waktu, lain orang, dan khawatir saling menyerang. Saling memaki pertuhanan, khawatir membangun emosi publik,” kata akun @alkhaddaff
Kemarahan juga disampaikan akun @yoedhanegara.
“Over percaya diri terkadang bikin gak sinkron antara isi kepala dengan apa yang keluar dari mulut, itulah yang akhirnya yang bikin politisi kutu loncat jadi keseleo lidah dan menjadi penisita tuhan. #TangkapFerdinand#TangkapFerdinandHutahaean,” demikian cuit akun @yoedhanegara
Selain bermunculan tagar #Tangkap Ferdinand, sejumlah netizen juga akan melaporkan cuitan Ferdinand tersebut ke polisi.
Kasus Ferdinand hanya merupakan contoh kecil. Masih banyak berseliweran di media sosial ucapan-ucapan serupa yang berpotensi menimbulkan kegaduhan, menimbulkan persoalan baru di tengah upaya kita bersama membangun harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maraknya fenomena para pendengung atau buzzer di media sosial, yang belakangan ini kian marak, untuk mengaburkan fakta menjadi opini.
Jika kita lihat perkembangan yang terjadi di media sosial sekarang, opini diangkat sebagai kebenaran bukan faktanya, dengan menggunakan berbagai cara termasuk menggunakan pasukan buzzer.
Tentu ini menjadi keprihatinan kita, dan sangat berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Saat ini, Indonesia tengah memasuki era post truth yang ditandai dengan kaburnya perbedaan antara fakta dan opini. Hal itu terjadi karena membanjirnya informasi di media sosial. Akibatnya, kemudian fakta dan informasi yang obyektif menjadi kabur, bahkan tenggelam oleh banjirnya opini yang subyektif.
Dalam demokrasi, seharusnya diisi oleh diskursus kritis. Sedangkan buzzer hanya mempengaruhi opini publik sehingga mengikis pemikiran kritis. Pola kerja buzzer ini, berhasil mempengaruhi masyarakat yang masih awam soal informasi, sehingga dalam mensikapinya cenderung emosional dan irasional. Pemerintah harusnya hadir untuk mencegah meluasnya buzzer dengan mencerdaskan masyarakat melalui literasi digital. Bukan malah sebaliknya melakukan pembiaran-pembiaran yang justru merusak esensi demokrasi itu sendiri.
Dampak Hukum Penyalahgunaan Informasi
Dewasa ini persoalan hoaks pun semakin mengemuka, seiring betumbuhnya jumlah pemakai media sosial. Masifnya penggunaan media sosial untuk berbagai informasi, jika tidak dibarengi dengan literasi media yang memadai, akan menjadi ancaman serius bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bila informasi yang dibagikan tersebut dalam bentuk fitnah, berita bohong (hoaks), SARA maupun ujaran kebencian.
Penyebaran berita-berita hoaks, hate speech dan lainnya, bisa berujung pada kegaduhan dan bisa memporak porandakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan arus modernisasi dan globalisasi, dimana masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sangat bergantung pada smartphone, mendorong populasi pengguna smartphone juga meningkat.
Berdasarkan data, Indonesia merupakan negara dengan pengguna smartphone terbesar ke empat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika. Dengan banyaknya informasi yang dapat diperoleh hanya melalui smartphone saja, maka banyak masyarakat menggunakan smartphone sesuai dengan keinginannya baik dalam hal yang positif maupun negatif.
Saat ini dengan semakin berkembangnya kebutuhan teknologi dalam kehidupan manusia untuk hanya sekedar berbagi foto maupun tulisan kepada khalayak umum atau kepada masyarakat di dunia maya yang biasa kita sebut “ netizen” sudah menjadi hal yang dapat disebut kebutuhan karena dilakukan sebagai suatu keharusan yang dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi banyak oknum yang salah memanfaatkan sosial media ini dengan tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan suatu tulisan kebencian, penipuan, maupun kebohongan yang biasa disebut berita hoax.
Berita hoax menimbulkan keresahan dari berbagai pihak termasuk pemerintah dan masyarakat. Hoax menimbulkan konflik di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk dalam berbagai perbedaan ideologi di bidang politik maupun sara.
Berita palsu ini dibuat sedemikian rupa supaya pihak terkait yang dijadikan sasaran berita terpengaruh dan percaya dengan informasi yang disebarkan. Banyak oknum yang memanfaatkan adanya berita hoax ini untuk kepentingan mereka dalam tujuan yang berbeda seperti untuk tujuan berpolitik yang secara terus-menerus atau berangsur-angsur dapat menyebabkan konflik di tengah masyarakat.
Kecenderungan masyarakat dalam menggunakan sosial media yang sangat aktif membuat oknum penyebar berita hoax terpacu untuk berlomba-lomba dalam membuat berita yang dapat terlihat seperti berita nyata dengan menambahkan foto maupun video terjadinya berita tersebut. Motif yang digunakan adalah supaya banyak orang bersimpati dan dapat menjadikan keuntungan salah satu pihak.
Budaya masyarakat Indonesia yang kurang minat membaca dan mudah terpengaruh oleh lingkungan orang disekitarnya yang memicu terjadinya hoax ini. Menghina, menistakan, dan memfitnah orang lain diatur oleh hukum di negara Indonesia.
Jika ujaran kebencian berisi tentang pencemaran nama baik atau merendahkan suatu individu maupun kelompok tertentu maka pembuat ujaran kebencian tersebut dapat dipidana sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku di negara Indonesia.
Penggunaan sosial media juga diatur oleh undang-undang ITE yang dapat mengikat pelanggarnya dengan hukuman pidana yang berlaku.
Istilah hoax atau hoaks tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tetapi ada beberapa peraturan yang mengatur mengenai berita hoax atau berita bohong ini.
Berikut penjelasannya: Pertama, pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) mengatur mengenai penyebaran berita bohong di media elektronik (termasuk sosial media) menyatakan: Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Jika melanggar ketentuan Pasal 28 UU ITE ini dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016 , yaitu: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”. Tetapi, jika dicermati lagi UU ITE dan perubahannya khusus mengatur mengenai hoax (berita bohong) yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Lalu apa dasar hukum yang digunakan bagi penyebar berita bohong yang tidak mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik?
Berita bohong yang disebarkan melalui media elektronik (sosial media) yang bukan bertujuan untuk menyesatkan konsumen, dapat dipidana menurut UU ITE tergantung dari muatan konten yang disebarkan seperti: Jika berita bohong bermuatan kesusilaan maka dapat dijerat pidana berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU ITE; Jika bermuatan perjudian maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UU ITE; Jika bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE ; Jika bermuatan pemerasan dan atau pengancaman dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (4) UU ITE; Jika bermuatan menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA dipidana berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE; Jika bermuatan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dipidana berdasarkan Pasal 29 UU ITE.
Kedua, Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) juga mengatur hal yang serupa walaupun dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya frasa “ menyiarkan kabar bohong ”. Pasal 390 KUHP berbunyi sebagai berikut: Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.
Negara Indonesia yang merupakan negara hukum memiliki karakter masyarakat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bermoral dan beretika dengan segala kemajemukannya. Karakter sopan santun, ramah, saling menghormati, dan gemar bersosialisasi yang merupakan ciri masyarakat Indonesia dalam hal budaya dan kepribadian bangsa yang harus dijaga dan dijunjung tinggi untuk dilestarikan secara turun temurun supaya tidak luntur dan akan menular sampai ke anak cucu.
Penegakan hukum dan penanaman moral dan etika yang baik dapat mempengaruhi pola hidup masyarakat menjadi lebih teratur maka akan berkurang keinginan untuk melakukan penyebaran berita bohong alias hoax.
Sudah saatnya kita kembali untuk menyejukkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dengan mengedukasi penggunaan media sosial untuk menangkal konten-konten hoaks dan fitnah, agar kegaduhan bisa diredam.
*) Pendiri Indonesia strategic forum, Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia