Post-Traumatic Growth: Dari Resiliensi Menuju Pertumbuhan

Syahril Syam

Oleh: Syahril Syam *)

Post-Traumatic Growth (PTG) adalah istilah dalam psikologi yang menjelaskan perubahan positif yang bisa muncul setelah seseorang melewati pengalaman hidup yang sangat berat atau traumatis. Bedanya dengan resiliensi cukup penting: kalau resiliensi itu lebih seperti “kembali lagi ke titik semula” setelah guncangan, maka PTG justru berarti “naik level”, yaitu tumbuh menjadi pribadi yang lebih matang, lebih sadar, dan menemukan makna baru dalam hidup.

Menurut Richard Tedeschi dan Lawrence Calhoun, resiliensi hanya mengembalikan seseorang ke kondisi normal atau baseline, sedangkan PTG melampaui baseline, membawa individu ke kualitas hidup yang lebih tinggi.

Dengan kata lain, perjalanan menghadapi trauma bisa dibayangkan sebagai sebuah proses: pertama datang trauma, lalu orang berusaha coping atau bertahan; jika berhasil, muncul resiliensi yang membuatnya tidak hancur; namun bila proses ini diikuti dengan refleksi dan pencarian makna, maka muncullah pertumbuhan (PTG), yaitu kondisi ketika luka justru menjadi pintu menuju kehidupan yang lebih kuat dan lebih bermakna.

Awal mula penelitian tentang Post-Traumatic Growth (PTG) bermula pada dekade 1980-1990-an. Pada masa itu, dunia psikologi lebih banyak menyoroti sisi gelap dari trauma, terutama melalui konsep Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Pandangan yang umum berlaku saat itu adalah bahwa trauma identik dengan kerusakan psikologis yang sebaiknya dihindari atau, jika sudah terjadi, harus segera disembuhkan. Namun, dua psikolog, Richard Tedeschi dan Lawrence Calhoun, menemukan sesuatu yang berbeda dari pengalaman klinis mereka.

Saat mendampingi pasien yang mengalami kecelakaan, penyakit serius, hingga kehilangan orang terkasih, mereka mendapati bahwa tidak semua orang hanya mengalami keruntuhan atau luka batin. Justru, sebagian pasien melaporkan adanya perubahan positif yang mengejutkan: mereka merasa lebih kuat, lebih bijak, dan hidup mereka memiliki makna yang lebih dalam setelah melewati masa sulit itu.

Bahkan ada pasien yang berkata, “Saya tidak ingin mengalami hal ini lagi… tetapi saya tidak bisa menyangkal bahwa pengalaman ini membuat saya menjadi orang yang lebih baik.” Ungkapan semacam ini menjadi inspirasi penting bagi Tedeschi dan Calhoun, karena menantang asumsi lama bahwa trauma hanya menghancurkan. Dari sinilah muncul gagasan bahwa trauma, meskipun menyakitkan, juga bisa membuka peluang untuk pertumbuhan dan transformasi hidup.

Setelah menyadari bahwa ada sebagian orang yang justru mengalami perubahan positif setelah trauma, Tedeschi dan Calhoun mulai merumuskan konsep ini secara ilmiah di awal 1990-an. Mereka tidak sekadar mengandalkan pengalaman klinis, tetapi melakukan wawancara, studi kasus, dan penelitian sistematis untuk memahami pola-pola yang muncul. Dari berbagai data, mereka menemukan bahwa pertumbuhan pascatrauma bukanlah fenomena kebetulan, melainkan sebuah proses psikologis yang konsisten.

Hasil pengamatan mereka kemudian dituangkan dalam tulisan-tulisan akademik, termasuk buku dan artikel, yang menjadi tonggak penting lahirnya teori Post-Traumatic Growth (PTG). Menurut mereka, PTG terjadi ketika seseorang tidak hanya pulih dari trauma, tetapi juga berhasil menemukan makna baru, memperluas perspektif hidup, memperdalam hubungan sosial, serta memperkuat spiritualitas atau nilai-nilai personal. Dengan kata lain, trauma bisa menjadi pintu masuk menuju transformasi diri, asalkan diolah dengan refleksi yang mendalam.

Penelitian ini menggeser cara pandang psikologi dari fokus semata pada kerusakan akibat trauma menuju pemahaman yang lebih seimbang: bahwa penderitaan memang nyata dan menyakitkan, tetapi di dalamnya juga tersimpan potensi untuk tumbuh. Fokus utama penelitian Tedeschi dan Calhoun bukanlah sekadar pada resiliensi, yaitu kemampuan seseorang untuk kembali ke keadaan semula setelah mengalami guncangan hidup.

Mereka menekankan bahwa ada sesuatu yang lebih dari itu, yakni transformasi, ketika individu justru menemukan kualitas hidup baru yang sebelumnya tidak dimiliki. Inilah inti dari Post-Traumatic Growth (PTG) – trauma bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih bermakna.

Penemuan ini kemudian memicu gelombang baru dalam psikologi positif, cabang ilmu yang berfokus pada potensi manusia untuk berkembang, bukan hanya pada penyakit atau gangguan. Dari sini, pandangan terhadap penderitaan berubah: trauma memang menyakitkan, tetapi ia juga bisa menjadi pintu masuk menuju pertumbuhan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Seiring waktu, konsep PTG diteliti dalam berbagai konteks kehidupan nyata.

Penelitian menunjukkan bahwa penyintas kanker seringkali melaporkan rasa syukur yang lebih dalam terhadap hidup. Veteran perang menemukan makna baru dalam pengorbanan dan solidaritas. Korban bencana alam mampu membangun kembali komunitas dengan rasa kebersamaan yang lebih kuat. Bahkan dalam pandemi COVID-19, banyak orang menemukan cara baru untuk menghargai hubungan, kesehatan, dan waktu bersama keluarga.

Menurut Tedeschi dan Calhoun, Post-Traumatic Growth (PTG) tidak muncul begitu saja, melainkan melalui serangkaian mekanisme psikologis yang cukup kompleks. Proses ini biasanya dimulai ketika seseorang mengalami guncangan besar akibat trauma. Pada tahap ini, keyakinan dasar yang selama ini ia pegang – tentang dunia yang aman, tentang dirinya yang kuat, atau tentang orang lain yang bisa dipercaya – tiba-tiba terguncang. Hidup seakan kehilangan kepastian dan arah. Setelah itu, muncul proses refleksi atau perenungan (rumination).

Ada dua bentuk perenungan yang biasanya terjadi. Pertama, intrusive rumination, yaitu pikiran negatif yang datang berulang-ulang tanpa disadari, misalnya rasa bersalah, pertanyaan “mengapa ini terjadi?”, atau bayangan kejadian traumatis yang terus menghantui. Bentuk ini sering membuat seseorang merasa terjebak dalam lingkaran penderitaan.

Kedua, deliberate rumination, yaitu perenungan yang lebih sadar, ketika seseorang mulai bertanya pada dirinya dengan tujuan mencari makna, seperti “apa yang bisa saya pelajari dari ini?” atau “bagaimana pengalaman ini bisa mengubah cara saya melihat hidup?” Menurut Tedeschi dan Calhoun, PTG baru muncul ketika seseorang berhasil beralih dari intrusive ke deliberate rumination. Tahap berikutnya adalah rekonstruksi makna, yaitu membangun kembali narasi baru tentang diri dan kehidupan.

Dalam tahap ini, individu mulai melihat bahwa meski trauma menyakitkan, ada hikmah atau nilai yang bisa diambil darinya. Akhirnya, terjadi integrasi pengalaman, dimana trauma tidak lagi dipandang hanya sebagai luka, tetapi juga sebagai guru yang memberi pelajaran penting, mengubah perspektif, dan memperkaya pandangan tentang hidup. Inilah yang membuat kita bisa tumbuh melampaui diri kita yang lama dan memasuki kualitas hidup yang lebih mendalam.

Dimulai dengan guncangan trauma. Seseorang yang kehilangan pasangan hidup secara mendadak bisa merasa seluruh fondasi hidupnya runtuh. Keyakinannya bahwa “hidup akan selalu aman bersama pasangan” atau “masa depan sudah jelas” menjadi hancur seketika. Ini adalah titik awal dimana dunia lama yang ia yakini tidak lagi sama. Lalu, muncullah fase refleksi dan perenungan (rumination). Pada awalnya sering berbentuk intrusive rumination, yakni pikiran yang muncul berulang-ulang tanpa diundang, seperti “seandainya saya bisa menyelamatkannya” atau “mengapa ini menimpa saya?”

Pikiran ini membuat orang sulit tidur, gelisah, dan merasa terjebak. Namun, seiring waktu, sebagian orang mulai masuk ke tahap deliberate rumination, dimana mereka secara sadar mencoba memahami apa arti dari peristiwa tersebut. Contohnya, seseorang bisa mulai berkata dalam hati: “Saya tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi mungkin saya bisa menggunakannya untuk lebih menghargai hidup atau membantu orang lain yang mengalami hal serupa.”

Tahap berikutnya adalah rekonstruksi makna. Pada fase ini, individu mulai menyusun narasi baru tentang hidupnya. Misalnya, seorang penyintas kanker mungkin berkata: “Saya dulu sibuk mengejar karier dan lupa kesehatan. Penyakit ini membuat saya sadar bahwa tubuh saya harus lebih saya jaga, dan waktu bersama keluarga lebih berharga daripada apapun.”

Dengan membangun makna baru, trauma tidak lagi dipandang hanya sebagai penderitaan, melainkan sebagai titik balik. Akhirnya, terjadi integrasi pengalaman, yaitu ketika trauma sudah benar-benar “melekat” dalam cerita hidup seseorang, bukan lagi sebagai luka yang mengikat, melainkan sebagai guru yang memberi pelajaran. Contohnya, banyak korban bencana alam yang setelah bertahun-tahun bisa berkata: “Peristiwa itu memang berat, tetapi dari sana saya belajar arti solidaritas. Sekarang saya lebih peduli membantu orang lain yang kesulitan.” Pada tahap ini, trauma menjadi bagian dari identitas yang memperkaya, bukan melemahkan.

Inti dari Post-Traumatic Growth (PTG) bisa dipahami sebagai sebuah pergeseran mendalam dalam cara seseorang memandang diri dan hidupnya setelah melewati pengalaman traumatis. Proses ini merupakan transformasi batin yang mengubah luka menjadi kekuatan baru. Seseorang yang awalnya dipenuhi rasa takut setelah kejadian traumatis, perlahan-lahan menemukan keberanian untuk menghadapi hidup dengan cara yang berbeda. Trauma juga sering membuat orang merasa kehilangan arah atau tujuan, namun melalui refleksi yang mendalam, mereka bisa menemukan makna baru yang justru memberi hidup mereka arah yang lebih jelas.

Selain itu, meski trauma kadang membuat seseorang merasa terisolasi atau sendirian dalam penderitaan, proses pertumbuhan bisa membuatnya justru merasa lebih terhubung dengan orang lain, entah melalui empati, rasa solidaritas, atau hubungan yang lebih dalam dengan keluarga dan sahabat.

Terakhir, meski pada awalnya trauma membuat individu merasa rapuh, proses penyembuhan dan pencarian makna dapat menumbuhkan rasa kekuatan batin yang sebelumnya tidak dimiliki. Pergeseran inilah yang menjadi inti PTG: dari runtuhnya keyakinan lama lahir cara pandang baru yang lebih kuat, lebih berani, dan lebih bermakna. Dengan demikian, PTG bukanlah perjalanan yang instan, melainkan proses panjang yang mengubah luka menjadi kekuatan dan penderitaan menjadi makna baru dalam hidup.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *