Catatan D. Supriyanto JN *)
Setiap warga negara republik ini, pastinya merindukan Indonesia yang seutuhnya. Indonesia yang luhur budi pekertinya, damai, dan benar-benar mencerminkan Indonesia. Tetapi kerinduan itu seakan sirna, jika kita mendapati amuk merajalela, saling ejek sesama anak bangsa ,menjadi tanda bahwa aroma persatuan dan kesatuan sebagai sesama warga negara nyaris hanya menjadi wacana saja. Selebihnya, sebagian pihak memandang orang lain sebagai musuh dan karenanya layak dilenyapkan. Ironis, betapa kearifan sebagai ruh budaya luhur bangsa ini sudah punah.
Kejadian-kejadian ini paradoks bukan saja rusuh menjauh dari rasa damai. Ini juga menjadi antiklimaks lantaran sesama warga telah memandang orang lain sebagai yang pantas dicurigai dan dimusuhi. Faktor pertama dan utama adalah lemahnya pemikiran penduduk Indonesia. Hilangnya rujukan nilai. Mudah ditunggangi kepentingan kepentingan politilk. Ini membuat warga begitu mudah terprovokasi.
Selain itu sebagian pihak telah melakukan depolitisasi yang menyebabkan warga tidak memahami politik dengan benar. Lemahnya pemikiran ini berbanding terbalik dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, dan rasa Bhineka Tunggal Ika yang mendedahkan persatuan.
Belum lagi persoalan persatuan dan kesatuan ini selesai, sebagian penduduk di republik ini seakan abai dengan produk dalam negeri, termasuk produk budaya tentunya. Mereka merasa sangat bangga apabila mengenakan sesuatu yang berasal dari luar negeri, termasuk produk budaya luar negeri. Padahal, jika bukan bangsa ini yang mencintai hasil-hasil dalam negerinya lantas siapa lagi? Lengkap sudah rintih pilu pertiwi. Ketidakcintaan terhadap negeri ini seperti berdampak sistemik ke wilayah yang sangat lokal.
Rentetan kejadian dalam berindonesia dapat dipastikan terjadi di daerah lain dengan stadium yang berbeda. Itu dari aspek budaya, politik bahkan pendidikan. Di bidang ekonomi, situasinya bisa lebih parah. Bahkan, jejak ekonomi neoliberalisme di Indonesia serasa menghilangkan aset nasional dan merelakan berpindah tangan kepada asing. Indikasi ke arah sana semakin menjadi manakala proyek-proyek mercusuar yang dibiayai dari hutang asing dan lambat laun hilangnya aset negara karena tidak mampu membayar. Sampai suatu ketika, pada akhirnya, jangan-jangan aset yang dimiliki bangsa lain di negeri ini jauh lebih banyak dibanding aset warga bangsa ini di republik ini. Memilukan, ngeneess..
Soal nasionalisme ini, mirip kerjasama lembaga satu dengan lembaga dua. Lembaga satu selalu membantu lembaga dua dan terus menerus begitu. Begitu banyak bantuan yang diberikan lembaga satu kepada lembaga kedua, sampai lembaga dua hanya memiliki sesuatu yang kecil . Sebab ornamennya yang digunakan lembaga dua lebih banyak disuplai lembaga satu, hingga pada akhirnya lembaga satu mengakuisisi lembaga dua karena tidak kuat menahan bantuan dan tak sanggup mengganti bantuan yang terus bertubi-tubi. Akhirnya pusing pala berbie…
Suatu ketika, jika kondisi ini dibiarkan mengalir tanpa nasionalisme, Indonesia hanya tinggal nama karena piranti yang berada di dalamnya sudah milik orang lain, khususnya menyangkut ekonomi, budaya, politik bahkan hukum.
Dalam bidang ekonomi misalnya, arus modal asing mulai masuk ke Indonesia. PMA dan utang luar negeri meningkat. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonomi dari sosialisme ke arah kapitalisme. Dunia koperasi yang mencirikan Indonesia, pelan tapi pasti tergerus. Kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah banyak dibawa ke arah liberaisasi ekonomi, baik sektor keuangan, industri maupun sektor perdagangan.
Menjamurnya industri perbankan di Indonesia yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi utang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat mewarnai percaturan ekonomi liberal di Indonesia. Dengan kata lain nasionalisme berbasis ekonomi mengalami erosi, dan yang tidak berdaya menjadi emosi.
Begitu juga dengan budaya, dimana bangsa lain terang-terangan mencaplok bahwa sebagian budaya yang dilabeli Indonesia, sesungguhnya versi luar negeri milik bangsa lain.Tidak berbeda pula pendidikan samar-samar telah menjadi ‘luar negeri’.
Inilah yang seharusnya direnungkan bersama agar siapapun di republik ini berfikir jangka panjang berguna lebih massif dan mengindonesia.
Mari bangga menjadi Indonesia
*) Pekerja budaya, penggiat media, Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia