Disiksa, dimasukkan ke kandang ular, kerja paksa, konsumsi sabu
KINERJAEKSELEN.co, Medan — Secara perlahan mulai terungkap penjara kerangkeng (kereng) manusia di rumah pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin (TRP) di Dusun I Nangka Lima, Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatra Utara, yang dikatakan lokasi rehab bagi pencandu narkoba ternyata merupakan tempat penyiksaan, penganiayaan dan kerja paksa tanpa upah (rodi) bagi anak usia 17 tahun.
Hal itu terungkap dari keterangan saksi-saksi korban saat berlangsungnya persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Langkat, Rabu (24/8/2022) sejak pukul 11.00 – 23.30 WIB dalam perkara kejahatan kereng dengan 8 terdakwa, yakni DP, HS, SP, JS, RG, TS, HG dan IS.
Sedangkan saksi yang hadir, yakni SSD, YS, EST alias Edo, ESS dan DASS yang masih berusia 17 tahun.
Dalam persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Halida Rahardini SH MHum dengan Hakim Anggota masing-masing Andriansyah SH MH dan Diki Irfandi SH MH, masing-masing saksi menceritakan berbagai tindakkan penyiksaan yang mereka alami. Mereka semuanya mantan penghuni kereng yang berhasil kabur saat penggerebekan KPK pada Februari 2022. Padahal, mereka diantar keluarga mereka ke kereng itu untuk direhabilitasi akibat kecanduan narkoba. Ternyata, mereka disiksa, dianiaya, dimasukkan ke kandang ular, hingga dipekerjakan di pabrik kelapa sawit, ladang dan di rumah milik TRP tanpa dibayar.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Indra Ahmad Effendi SH MH, Yusnar Hadibuan SH MH, Jimmy SH MH dan Baron SH MH secara bergantian menyampaikan pertanyaan kepada para saksi korban.
Para saksi korban mengaku selama berada di kereng mendapat perlakuan sadis bahkan terjadi pelecehan seksual, serta dipekerjakan tanpa digaji dan juga tak ada jaminan perlindungan kesehatan.
Saksi ESS mengungkapkan penyesalannya memasukkan anaknya DASS yang masih usia sekolah ke kereng milik TRP.
Sambil terisak, saksi ESS menceritakan dirinya sangat sakit hati dan tidak bisa menerima ketika mengetahui anaknya dipekerjakan tanpa dibayar dan mendapatkan perlakuan biadab dari kereng milik TRP.
“Awalnya informasi yang kami dapat, panti rehab milik TRP ini sangat baik, wajib salat dan diperlakukan sebagai anak sendiri. Tapi ternyata, anak bungsu saya diselang (cambuk), dipukuli tanpa perikemanusiaan sampai kuku kaki anak saya keduanya copot, Bu Hakim. Semua yang disampaikan tentang kebaikan di rehab milik TRP sangat bertolak belakang dengan kenyataan. Saya sangat menyesal, Bu Hakim,” kata ESS.
Sementara saksi lainnya menjelaskan, selain mendapatkan siksaan fisik yang masih membekas di tubuhnya, di dalam kereng juga terkadang masih bisa menggunakan narkotika jenis sabu.
Para saksi menceritakan mereka dipekerjakan di pabrik kelapa sawit milik TRP tanpa upah dan tanpa perlindungan kerja. Perlakuan yang mereka peroleh sangat berbeda dengan para karyawan pabrik lainnya.
“Ya, sangat berbedalah, Pak. Kalau kami anak kerangkeng/kereng tidak pernah digaji, kalau karyawan lainnya di pabrik itu ya dapat gaji,” ujar para saksi kepada JPU yang disampaikan secara bergantian di depan persidangan dengan wajah tertutup/mengenakan topeng.
Khusus saksi korban yang masih di bawah umur, yakni DASS, menceritakan pengalamannya selama dititipkan kedua orangtuanya di kereng milik TRP tersebut.
Majelis Hakim, JPU dan PH para terdakwa bergantian mencecar pertanyaan dengan sikap berbeda dan tanpa menggunakan toga agar saksi dapat leluasa menyampaikan kesaksiannya
Dalam kesaksiannya, DASS menceritakan dirinya mengonsumsi sabu saat kelas 1 SMA.
“Ya, pengaruh teman. Saya tidak pernah mencuri uang orangtua. Karena saya sekolah juga sembari bantu-bantu bekerja di bengkel sesuai keahlian saya. Saat saya dijemput pihak kereng, saya dipukul saat di perjalanan. Sampai di kereng, saya disiksa secara sadis. Tubuh hingga kaki dicambuk menggunakan selang kompresor. Setelah dicambuk dengan mata ditutup lakban, kuku kaki saya juga dijepit kaki kuri dan diduduki. Sampai kuku kaki saya copot karena busuk. Saya juga dimasukkan ke kandang ular, saya di dalam kerangkeng selama 8 bulan,” ungkapnya di hadapan majelis Hakim PN Stabat dan JPU serta kuasa hukum terdakwa, sambil menunjukkan bekas luka di tubuhnya hingga kuku kakinya.
Diungkapkannya, suatu hari dia pernah kabur pulang ke rumah orangtuanya, tetapi orangtuanya mendapat telepon dan diancam oleh seseorang yang diduga bernama Terang.
“Bapak saya pernah ditelepon, kalau anak Bapak tidak diantar lagi ke kereng maka harus ganti kepala,” ungkapnya.
Dia pun mengisahkan di persidangan bahwa pada satu minggu awal setiap pagi dipukul oleh seseorang bernama Amri. Satu minggu lagi kerja di rumah bupati. “Soal makan dilarang sama senior yang di dalam kereng, Bu Hakim.” katanya.
Saat sudah dua minggu di kereng, DASS kabur. Namun beberapa jam tertangkap. Saat tertangkap itu saksi juga dipukuli. Kelang sehari pasca tertangkap kemudian saksi dikerjakan di ladang. Dia bebas dari kereng TRP karena kabur untuk kedua kalinya.
Saat kabur tersebut keluarga juga kerap mendapat ancaman dari pihak orang kereng. Namun, karena ayahnya sudah mengetahui bahwa anak kesayangannya disiksa secara sadis dan dipekerjakan tanpa dibayar, ayah saksi sempat berbohong kepada pihak kereng bahwa anaknya sudah di Aceh.
Usai memberikan kesaksian, Majelis Hakim bertanya kepada para terdakwa tentang kebenaran pernyataan para saksi. Namun, para terdakwa merasa keberatan dan tidak mengaku. Sidang diskors dan akan dilanjutkan pekan depan.
(KTS/rel)