Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Pertumbuhan ekonomi Q2/2022 gemilang, 5,44 persen. Tetapi sekaligus mengherankan, dan sangat menyedihkan bagi pihak-pihak tertentu, bagi pihak yang ekonominya tidak tumbuh, bahkan merasa tertekan, termakan lonjakan harga pangan, listrik, bbm, dan pajak.
Mereka bertanya-tanya, kemana larinya pertumbuhan ekonomi tersebut? Siapa yang menikmati? Karena sebagian besar masyarakat mengeluh sedang susah, terhimpit kenaikan harga berbagai kebutuhan hidup, bukan satu atau dua barang, tapi hampir menyeluruh.
Pertumbuhan ekonomi, atau PDB, per definisi adalah pertumbuhan riil, yaitu pertumbuhan yang steril dari kenaikan harga. Artinya, pertumbuhan dari kenaikan jumlah barang produksi (dan konsumsi). Kalau periode lalu produksi 1.000 unit dan periode sekarang juga produksi 1.000 unit, artinya tidak ada pertumbuhan, alias nol persen. Meskipun harga saat ini meroket, tidak pengaruh.
Tetapi, transaksi ekonomi hanya mencatat nilai nominal, yaitu jumlah barang dikali harga saat ini, harga yang mungkin sudah naik dibandingkan periode sebelumnya. Artinya, transaksi ekonomi tidak mencatat nilai riil, tetapi harus dihitung.
Dengan cara, nilai nominal dikoreksi dengan kenaikan harga, atau deflator. Kalau semua kenaikan harga (misalnya 20 persen), terserap ke dalam deflator (juga 20 persen), maka diperoleh ekonomi nilai riil yang murni.
Tetapi kalau hanya sebagian dari kenaikan harga yang terserap ke dalam deflator, maka nilai riil menjadi lebih besar dari yang sebenarnya, karena masih mengandung atau terkontaminasi kenaikan harga.
Karena itu, konversi ekonomi dari nilai nominal menjadi nilai riil tergantung dari penentuan angka deflator. Sebagai konsekuensi, pertumbuhan ekonomi (riil) juga tergantung deflator. Kalau deflator lebih rendah dari kenaikan harga sebenarnya maka pertumbuhan ekonomi inflated, alias menggelembung.
Menurut BPS, pertumbuhan ekonomi nominal 17,8 persen pada Q2/2022. Pertumbuhan ini kombinasi dari kenaikan jumlah produksi dan kenaikan harga. Ekonomi hanya tertarik dengan kenaikan jumlah produksi (konsumsi), tidak tertarik dengan kenaikan harga.
Menurut BPS, kenaikan harga yang diserap ke dalam deflator pada periode tersebut hanya 10,25 persen (dari harga rata-rata tahun 2021). Hasilnya, diperoleh pertumbuhan ekonomi riil 5,44 persen.
Apakah deflator ini masuk akal?
Untuk lebih jelasnya, angka deflator ini dirinci lagi per kategori konsumsi: komsumsi rumahtangga, konsumsi pemerintah, investasi (pembentukan modal kerja) dan ekspor-impor.
Kontribusi pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga 2,92 persen pada Q2/2022. Sangat tinggi, mengingat daya beli masyarakat sedang terpuruk akibat lonjakan harga hampir semua barang kebutuhan hidup. Tetapi, menurut BPS, kenaikan harga, deflator, untuk konsumsi rumah tangga hanya 4,31 persen. Apa iya?
Padahal, masyarakat rumahtangga merasa kantongnya terkuras habis oleh kenaikan harga barang konsumsi yang melonjak-lonjak. Sekali lagi, apa iya kenaikan harga untuk konsumsi rumah tangga hanya sebesar itu?
Bagaimana dengan kenaikan harga akibat kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, atau kenaikan 10 persen, apakah sudah terserap di dalam deflator? Terus, bagaimana dengan kenaikan harga BBM non-subsidi yang melonjak 50 persen, atau kenaikan harga gas dan tarif listrik yang sangat membebani rumahtangga, apakah sudah masuk dalam deflator?
Atau inflasi pangan yang mencapai 9,1 persen hingga Juni 2022, apakah kenaikan deflator pangan dan minuman 6,34 persen sudah mencakup seluruh kenaikan harga pangan tersebut?
Sekarang beralih ke konsumsi pemerintah, ternyata lebih mengherankan lagi. Menurut BPS, harga pembelian konsumsi pemerintah (deflator) pada Q2/2022 hanya naik sedikit: 0,19 persen. Apa iya? Yang lebih mengherankan, deflator pada Q1/2022 malah turun 3,17 persen? Sulit dipahami dengan fakta di lapangan?
Dengan angka deflator yang mengundang beribu tanda tanya, total pertumbuhan ekonomi riil, sebelum ekspor-impor, mencapai 3,52 persen pada Q2/2022. Apakah ini pertumbuhan riil sebenarnya, atau terdongkrak deflator?
Terakhir ekspor dan impor, juga sangat menarik. Pertumbuhan yang berasal dari ekspor sangat tinggi, mencapai 4,44 persen pada Q2/2022, rekor tertinggi sejak 2012. Kok bisa, padahal ekonomi dunia masih tertekan?
Pertumbuhan nilai nominal ekspor non-migas memang cukup tinggi, 40,1 persen. Tetapi, menurut BPS, kenaikan ini lebih karena kenaikan jumlah kuantitas barang, bukan kenaikan harga. Karena, masih menurut BPS, kontribusi kenaikan harga, deflator, untuk ekspor non-migas hanya 13,01 persen.
Padahal ekspor non-migas termasuk semua komoditas mineral dan batubara, serta komoditas perkebunan seperti karet, minyak sawit, yang harganya melonjak tajam. Maka itu, deflator tersebut sulit mencerminkan kenaikan harga yang sebenarnya?
Dengan tingkat deflator seperti itu, pertumbuhan riil ekspor non-migas mencapai 4,08 persen, sebagai kontribusi utama terhadap pertumbuhan ekspor 4,44 persen tersebut. Artinya, kalau deflator tersebut terlalu rendah, maka pertumbuhan ekspor terlalu tinggi?
Di lain sisi, pertumbuhan nilai nominal impor non-migas hanya 18,6 persen Q2/2022, tetapi deflator untuk impor non-migas tercatat 7,58 persen, membuat pertumbuhan riil dari impor non migas menjadi 1,47 persen, dari pertumbuhan riil impor sebesar 2,30 persen: terlalu rendah?
Padahal impor non-migas kebanyakan terdiri dari bahan baku dan barang modal, di mana seharusnya, kenaikan harganya jauh lebih rendah dari kenaikan harga komoditas ekspor? Jadi, bagaimana bisa, deflator ekspor non-migas hanya selisih sedikit saja dari deflator impor non-migas
Semuanya itu, membuat pertumbuhan riil net ekspor, ekspor dikurangi impor, menjadi 2,14 persen pada Q2/2022: 4,44 persen dikurangi 2,30 persen: sangat luar biasa, atau sangat tidak biasa (very unusual)?
[red]