Cirebon – Seorang Kepala Sekolah Dasar Negeri di Cikijing, Kabupaten Majalengka, berinisial ATH, diduga melakukan praktik pemalsuan Surat Keputusan (SK) penugasan guru honorer untuk kepentingan pribadi. Modus operandi yang dilakukan melibatkan peminjaman SK penugasan dan KTP dari guru honorer, yang kemudian diubah menjadi SK pengangkatan palsu. SK palsu tersebut digunakan sebagai agunan kredit di sebuah bank, yakni Bank Perkreditan Rakyat (BPR) BKC di Cirebon.
Modus Operandi dan Imbalan
Informasi ini diperoleh dari seorang narasumber yang ditemui pada 13 Januari 2025 di kediamannya. Narasumber menyebut bahwa ATH, kepala sekolah di SD Negeri Cikijing 2, memberikan imbalan sebesar Rp3 juta kepada setiap guru honorer yang bersedia meminjamkan SK dan KTP-nya. Imbalan ini diduga sebagai “uang tutup mulut” agar para guru tidak melaporkan tindakan tersebut kepada pihak berwenang.
Praktik ini melibatkan manipulasi data pada SK penugasan, yang seharusnya hanya sebagai dokumen penugasan sementara. Namun, dokumen tersebut dimodifikasi menjadi SK pengangkatan palsu, yang menunjukkan status permanen seorang guru. SK palsu ini lalu digunakan untuk mengajukan kredit di bank.
Indikasi Keterlibatan Pihak Bank
Tidak menutup kemungkinan adanya oknum karyawan bank yang terlibat dalam kasus ini. Proses pencairan kredit berbasis SK seharusnya melalui verifikasi ketat untuk memastikan keabsahan dokumen. Jika verifikasi dilakukan dengan benar, SK palsu semestinya terdeteksi sejak awal. Dugaan keterlibatan oknum karyawan bank ini semakin kuat jika ditemukan bahwa prosedur verifikasi sengaja diabaikan untuk mempercepat pencairan kredit.
Kerugian dan Dampak
Praktik ini menimbulkan berbagai dampak negatif, di antaranya:
1. Guru Honorer yang Dirugikan
Identitas mereka digunakan tanpa sepengetahuan penuh, dan mereka dapat terseret secara hukum jika kasus ini terungkap lebih luas.
2. Integritas Pendidikan Tercoreng
Tindakan ini mencoreng dunia pendidikan, terutama institusi yang seharusnya menjadi teladan moral dan integritas.
3. Kerugian Bank
Jika kredit dicairkan berdasarkan SK palsu, bank berpotensi mengalami kerugian finansial dan reputasi.
Dalil Hukum
Tindakan yang dilakukan ATH dan indikasi keterlibatan oknum bank dapat dijerat dengan berbagai pasal hukum, di antaranya:
1. Pemalsuan Dokumen (Pasal 263 KUHP)
Ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara.
2. Penyalahgunaan Jabatan (Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dapat dikenai hukuman pidana.
3. Tindak Pidana Perbankan (UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Jika ditemukan keterlibatan oknum bank dalam proses pencairan kredit, mereka dapat dijerat karena lalai atau sengaja membantu kejahatan.
Tanggapan Pihak Terkait
Hingga berita ini ditulis, ATH tidak memberikan klarifikasi resmi terkait tuduhan tersebut. Pihak BPR BKC juga belum dikonfirmasi keaslian dokumen yang dijadikan agunan.
Kasus ini menyoroti adanya celah dalam pengawasan administrasi di dunia pendidikan dan sistem perbankan. Diperlukan langkah preventif untuk memperketat verifikasi dokumen, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat. Penyelidikan lebih lanjut diharapkan dapat mengungkap seluruh jaringan yang terlibat dan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan serupa. Untuk itu kami sebagai media yang berfungsi sebagai sosial kontrol akan mengawal kasus ini dengan menembuskan permasalaham ini ke pada instansi terkait
(Tim Liputan)
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.