Oleh: Emrus Sihombing
Kenaikan BBM bersubsidi (BBM-b) yang sudah dilakukan menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Sejumlah pandangan mengemuka. Sayangnya, menurut hemat saya, belum ada tawaran pemikiran atau pandangan yang solutif dan lebih permanen dari berbagai pihak, termasuk dari teman-teman di DPR-RI dan para pemikir di instansi pemerintah.
Menurut hemat saya, setidaknya ada dua solusi dan lebih permanen terhadap pengelolaan harga BBM di tanah air yang selama ini belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Apa itu?
Pertama, hapus semua subsidi BBM. Harga sesuai mekanisme pasar. Namun melalui peraturan, misalnya lewat UU atau Perpu agar lebih cepat, setiap tahun Pertamina diwajibkan sejumlah persen (%) tertentu dari APBN sebagai penambah RAPBN. Pertamina berkontribusi 20% hingga angka persen yang rasional dapat dipenuhi, sebagai contoh. Oleh karena itu, direksi dan komisaris Pertamina harus menandatangani kewajiban tersebut.
Kontribusi dana sebagai kewajiban Pertamina itu digunakan membangun sarana dan prasarana aspek kesehatan, pendidikan, ketersediaan air bersih, membuka lahan pertanian yang produktif, pendampingan usaha UMKM, listrik masuk desa di desa-desa dan di kantong-kantong kemiskinanan di kota-kota untuk kebutuhan rakyat kelas ekonomi bawah di seluruh tanah air sebagai bentuk kerja keras (berkeringat) dari pemerintah.
Ambil saja contoh bidang kesehatan, menyedikan minimal satu helikoter ambulan di setiap Pemda Tingkat II, untuk menjemput warga yang perlu pertolongan darurat karena sakit. Dengan demikian, warga yang tinggal di tepi pantai, di lereng dan di pegunungan bisa mendapat pelayanan kesehatan dengan cepat seperti saudara dan saudarinya yang tinggal di perkotaan.
Upaya ini jauh lebih bermanfaat dan tepat sasaran daripada menurun-naikkan subsidi BBM sebagai tindakan tidak mau berkeringat yang terus berulang dari pemerintahan dulu hingga pemerintahan sekarang, bisa saja ini menjadi “turun-menurun” ke pemerintahan selanjutnya.
Untuk menjaga harga BBM sesuai mekanisme pasar, pemerintah sebagai representasi negara melalui aparat hukum menegakkan aturan dan mengawasi secara ketat jika ada aktor yang “bermain-main” menjual BBM di atas harga mekanisme pasar di suatu wilayah geografis tertentu di tanah air.
Dengan skema menghapus subsidi maka tugas Pertamina jauh lebih ringan dan mudah sehingga jumlah unit kerja dan karyawan di Pertamina dapat dikurangi secara signifikan. Sekaligus juga dilakukan evaluasi gaji, tunjangan, dan fasilitas seluruh pekerja di Pertamina apapun jabatan/statusnya. Setarakan saja pengasilan mereka dengan ASN/PNS di kementerian Sosial, misalnya. Konsekuesi positifnya, hampir bisa dipastikan dapat meningkatkan efisiesi biaya dari internal Pertamina.
Atau serahkan saja pengelolaan BBM ke perusahaan swasta. Pemerintah hanya membuat kebijakan dan pengawasan langsung atas dasar objektifitas, profesionalitas dan terutama sungguh-sungguh berintegritas kukuh. DPR RI hanya melakukan pengawasan lewat pemerintah. Jangan dilakukan pengawasan langsung.
Kedua, pemerintah tidak menaikkan BBM-b. Namun ada pengaturan penggunaan BBM-b. Pertalite, misalnya, hanya untuk kenderaan umum dan motor saja. Kenderaan pribadi menggunakan BBM non bersubsidi (BBM-nb). Sedangkan BBM-b solar hanya untuk kenderaan umum, truk, dan usaha mikro. Sama sekali tidak boleh untuk kenderaan pribadi.
Dengan demikian, orang yang mampu memiliki mobil pribadi wajib/harus menggunakan BBM-nb. Mereka memilih naik motor atau kederaan umum.
Kenyataan menunjukkan, begitu BBM-b termasuk BBM-nb dinaikkan, komoditi lain dan biaya transportasi akan ikut “mendaki”. Akibat lanjutannya kenaikan inflasi. Dalam beberapa hari ke depan bisa saja tarif ojol, ongkos bus dan angkot, transportasi udara serta laut dan sebagainya akan naik, termasuk pelayanan publik lainnya.
Biasanya kenaikan harga ini akan disampaikan dengan penghalusan pilihan diksi yaitu “penyesuaian” harga. Padahal maknanya sama, harga naik. Ini sudah sering diungkapkan oleh para elit dari masa Orba, sekarang, dan boleh jadi ke pemerintahan berikutnya, karena kenaikan harga tersebut tidak berpengaruh signifikan kepada kehidupan keseharian meraka. Biasalah.
Boleh jadi, siapapun elit sosial akan melakukan pilihan diksi yang sama, sehingga kelas ekonomi bawah akan tetap menjadi objek (pilihan diksi) komunikasi. Ungkapan bijak di komunitas Batak mengatakan, “namalo nampunasa hata, naoto tu panggadisan”. Bisa diterjemahkan, orang pandai atau elit atau kelas sosial atas sebagai subjek punya pendapat (mempengaruhi) untuk mengendalikan, sedangkan kelas bawah selalu “terjual” atau menjadi objek.
Merujuk pada dua solusi di atas, menurut hemat saya, tawaran solusi pertama lebih baik dan permanen. Jika solusi pertama ini dilakukan, maka akan menjadi legacy yang baik bagi pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin (Jokowi – Ma’ruf) bagi rakyat, utamanya untuk rakyat kelas sosial ekonomi bawah.
[Red]