Opini  

Soal Koperasi Desa Merah Putih: Belajarlah dari Koperasi Unit Desa, Niat Besar Tanpa Pengawasan Besar Berbuah Kegagalan

Ekonom Achmad Nur Hidayat

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Harapan Besar di Tengah Tantangan Desa

Gagasan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) yang digagas pemerintah saat ini merupakan sebuah ide monumental yang tampaknya menjanjikan perbaikan ekonomi desa secara masif.

Dengan target ambisius membentuk koperasi di 70.000 desa, pemerintah berharap koperasi ini menjadi motor penggerak ekonomi desa, memotong ketergantungan masyarakat pada tengkulak, rentenir, dan pinjaman online ilegal, sekaligus menjadi pilar ketahanan pangan nasional.

Namun, harapan besar ini menyimpan tantangan yang tidak kecil, apalagi jika kita belajar dari sejarah kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD) di masa lalu. KUD, yang dulunya diagungkan sebagai instrumen utama pembangunan ekonomi desa, justru menjadi contoh nyata bagaimana program ambisius pemerintah bisa kandas karena berbagai persoalan struktural dan kelembagaan.

Oleh karena itu, Koperasi Desa Merah Putih perlu dikawal ketat agar tidak mengulangi sejarah kelam KUD.

Refleksi Kritis: Belajar dari Sejarah Kegagalan KUD

Membahas Koperasi Desa Merah Putih tidak bisa dilepaskan dari refleksi sejarah Koperasi Unit Desa.

KUD pada awalnya digagas sebagai lembaga ekonomi milik masyarakat desa yang diharapkan menjadi pusat aktivitas ekonomi berbasis koperasi. Ia menjadi kepanjangan tangan negara dalam mendistribusikan pupuk, benih, dan kebutuhan pokok petani. Namun, keberhasilan KUD hanya sesaat.

Ketika dukungan politik dan finansial dari negara melemah, KUD berangsur-angsur kolaps.

Penyebabnya bukan hanya karena berkurangnya subsidi pemerintah, tetapi juga karena KUD tidak pernah dibangun sebagai koperasi yang mandiri. Ia lahir dari gagasan top-down yang memaksakan bentuk kelembagaan dari pusat ke desa, tanpa memperhatikan dinamika lokal, kapasitas sumber daya manusia desa, dan kebutuhan nyata masyarakat.

KUD menjadi koperasi yang kaku, tidak fleksibel, dan hanya bergantung pada “pemberian” pemerintah, bukan koperasi yang tumbuh dari kebutuhan dan inisiatif warga.

Bahaya Ketergantungan pada Dana dan Negara

Koperasi Desa Merah Putih berpotensi besar mengalami hal yang sama jika tidak dikelola hati-hati.

Dengan rencana pemerintah menyalurkan Rp 3-5 miliar untuk setiap koperasi dan memanfaatkan pembiayaan dari Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA), terlihat jelas koperasi ini sejak awal sudah bertumpu pada dukungan keuangan eksternal, bukan inisiatif warga.

Meski dana besar memang diperlukan untuk memulai usaha produktif, ketergantungan koperasi pada skema pembiayaan luar berpotensi menciptakan jebakan hutang baru. Apalagi, jika koperasi ini tidak punya unit usaha yang berjalan baik, maka beban pengembalian dana ke bank BUMN akan menjadi bencana finansial baru di desa-desa.

Kita tahu, salah satu penyebab gagalnya KUD adalah ketidakmampuan mereka mengelola bisnis secara profesional.

Koperasi-koperasi ini, yang dulunya hidup karena “disuntik” proyek dan dana pemerintah, mendadak jatuh ketika subsidi berhenti.

Jika Koperasi Desa Merah Putih dibangun dengan cara yang sama—hanya mengandalkan “bantuan” tanpa penguatan kapasitas bisnis—nasib serupa bisa terulang, bahkan dengan skala kerugian yang lebih besar mengingat besarnya dana yang terlibat.

Politik dan Koperasi: Bahaya Intervensi Kekuasaan

Koperasi, dalam teori dan praktiknya, adalah badan usaha yang berbasis anggota dan kedaulatan anggota.

Namun, sejarah KUD menunjukkan bahwa koperasi desa bisa sangat rentan disusupi oleh kepentingan politik.

Di masa Orde Baru, KUD menjadi alat politik dan ekonomi yang dikendalikan oleh elite lokal dan pusat. Akibatnya, keputusan koperasi lebih ditentukan oleh penguasa daripada oleh anggota. Kini, ancaman yang sama membayangi Koperasi Desa Merah Putih.

Ketika program ini didesain dan dikendalikan pemerintah pusat, tanpa memperhatikan otonomi desa dan partisipasi nyata masyarakat, maka koperasi-koperasi ini bisa jadi hanya sekadar “alat” kekuasaan baru, bukan lembaga ekonomi masyarakat.

Sudah muncul kekhawatiran dari kepala desa yang menolak Kopdes Merah Putih karena menganggapnya proyek yang dipaksakan, tanpa melalui musyawarah desa.

Penolakan ini adalah sinyal keras bahwa pelaksanaan Kopdes Merah Putih tidak boleh sekadar mengikuti perintah pusat.

Pemerintah harus mengakui bahwa desa memiliki kedaulatan untuk menentukan bentuk kelembagaan ekonominya sendiri. Jika tidak, koperasi-koperasi ini hanya akan menjadi simbol, tanpa kehidupan ekonomi yang nyata di dalamnya.

Kapasitas SDM: Fondasi Utama yang Terabaikan

Isu mendasar lain yang perlu digarisbawahi adalah kapasitas sumber daya manusia (SDM) desa dalam mengelola koperasi.

Pengalaman KUD menunjukkan bahwa tanpa pengurus yang profesional, koperasi bisa jadi ladang korupsi dan kolusi.

Banyak KUD yang dikelola seadanya, tanpa akuntabilitas dan transparansi keuangan. Koperasi akhirnya runtuh oleh utang, salah urus, dan penggelapan dana.

Koperasi Desa Merah Putih, jika hanya dibentuk secara administratif tanpa menyiapkan SDM yang paham manajemen koperasi modern, akuntansi, bisnis, dan hukum, pasti akan bernasib sama.

Pemerintah harus paham bahwa membangun koperasi bukan sekedar memberi modal, tetapi menciptakan ekosistem kewirausahaan sosial di desa. Tanpa itu, koperasi hanya nama, tanpa makna.

BUMDes vs Koperasi: Potensi Tumpang Tindih dan Konflik

Satu isu krusial lain yang belum tuntas adalah potensi tumpang tindih antara Koperasi Desa Merah Putih dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Sejak UU Desa disahkan, BUMDes menjadi lembaga ekonomi resmi desa yang dikelola berdasarkan musyawarah desa.

Jika tiba-tiba ada koperasi desa yang juga dikelola untuk tujuan ekonomi serupa, muncul persoalan siapa yang berwenang, bagaimana pembagian peran, dan bagaimana pengelolaan aset desa.

Jika Koperasi Desa Merah Putih tidak dikelola hati-hati, akan muncul dualisme kelembagaan yang tidak sehat.

Apalagi, jika pemerintah pusat lebih memprioritaskan koperasi dan mengabaikan BUMDes, ini akan menjadi konflik baru antara pemerintah desa dan pusat. Akibatnya, masyarakat desa akan menjadi korban kebijakan yang tumpang tindih dan tidak jelas arahnya.

Niat Besar Tanpa Pengawasan Besar Berbuah Kegagalan

Koperasi Desa Merah Putih adalah ide besar yang perlu dikawal dengan pengawasan besar.

Sejarah KUD harus menjadi pelajaran berharga, bahwa koperasi tidak bisa dibangun hanya dengan dana besar dan niat baik pemerintah.

Koperasi harus lahir dari kebutuhan masyarakat, dikelola oleh anggota, dan diawasi secara ketat oleh sistem internal dan eksternal. Tanpa itu, koperasi ini hanya akan menjadi “proyek mercusuar” yang tampak megah di atas kertas, tetapi runtuh dalam kenyataan.

Pemerintah perlu melibatkan semua pihak—desa, akademisi, praktisi koperasi, dan masyarakat sipil—untuk merancang, melaksanakan, dan mengawasi Koperasi Desa Merah Putih.

Jangan sampai koperasi ini menjadi ladang korupsi baru, beban utang baru, dan konflik baru di desa. Jika niat pemerintah benar-benar ingin mensejahterakan desa, maka cara-cara membangun koperasi harus demokratis, transparan, dan berbasis kebutuhan lokal, bukan sekedar memenuhi target politik nasional.

Karena itu, *awas Koperasi Desa Merah Putih terjebak nasib serupa KUD!* Niat besar perlu dikawal dengan pengawasan besar, atau sejarah akan mengulangi dirinya, dan kali ini, dengan kerugian yang lebih besar lagi.

END

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *