KINERJAEKSELEN.co, Jakarta – Akhir-akhir ini wajah media sosial kita, dijejali oleh narasi-narasi negatif dan ujaran kebencian. Sejumlah tokoh publik, diperolok-olok, bahkan dihina dan diinjak-injak martabatnya sebagai manusia. Ulah para buzer ini, kadang jauh dari tata krama dan etika dalam menyampaikan pendapat di ruang publik. Sungguh mengkhawatirkan, dan berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Media sosial membuat polarisasi di masyarakat.
Mensikapi fenomena buzzer saat ini, Pengamat Kebijakan Publik D. Supriyanto JN mengatakan, bahwa tantangan terberat yang kita hadapi saat ini adalah sosial media, karena memang mekanisme algoritma membuat masyarakat menjadi terbelah karena masyarakat kita sekrang sudah dikondisikan untuk melihat masalah hanya secara hitam putih. Tidak lagi melihat masalah dalam perspektif yang luas, arif dan bijaksana.
“ Ini sangat mengkhawatirkan, kita harus cerdas, dan jangan terjebak oleh informasi maupun narasi-narasi negatif penuh ujaran kebencian yang disampaikan buzzer-buzzer yang tidak bertanggung jawab,” kata D. Supriyanto JN beberapa waktu lalu di Jakarta.
Jagad menilai, hadirnya buzzer-buzzer yang tidak bertanggung jawab turut memperparah dan sangat membahayakan bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat. Lebih miris lagi, banyak tokoh yang ikut menggunakan jasa buzzer demi kepentingan politiknya.
“ Demokrasi kita memang sempoyongan ini juga ulah para buzzer yang hanya menyampaikan suatu permasalahan hanya karena menuruti kemauan si pemesan untuk kepentingan politiknya. Maraknya fenomena para pendengung atau buzzer di media sosial, yang belakangan ini kian marak, untuk mengaburkan fakta menjadi opini,” terangnya.
Jagad mengatakan, jika kita lihat perkembangan yang terjadi di media sosial sekarang, opini diangkat sebagai kebenaran bukan faktanya, dengan menggunakan berbagai cara termasuk menggunakan pasukan buzzer.
“ Tentu ini menjadi keprihatinan kita, dan sangat berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Saat ini, Indonesia tengah memasuki era post truth yang ditandai dengan kaburnya perbedaan antara fakta dan opini. Hal itu terjadi karena membanjirnya informasi di media sosial. Akibatnya, kemudian fakta dan informasi yang obyektif menjadi kabur, bahkan tenggelam oleh banjirnya opini yang subyektif,” tuturnya.
“ Dalam demokrasi, seharusnya diisi oleh diskursus kritis. Sedangkan buzzer hanya mempengaruhi opini publik sehingga mengikis pemikiran kritis. Pola kerja buzzer ini, berhasil mempengaruhi masyarakat yang masih awam soal informasi, sehingga dalam mensikapinya cenderung emosional dan irasional. Pemerintah harusnya hadir untuk mencegah meluasnya buzzer dengan mencerdaskan masyarakat melalui literasi digital. Bukan malah sebaliknya melakukan pembiaran-pembiaran yang justru merusak esensi demokrasi itu sendiri,” pungkasnya.
[Nug/red]