Oleh: Syahril Syam
Dr. Albert Ellis – seorang psikolog dan penggagas asli terapi perilaku emosional-rasional – merupakan salah seorang yang pertama menunjukkan betapa keyakinan kita menentukan cara kita berperasaan dan berperilaku. Ellis menjelaskan hal ini dengan menciptakan model ABC. Segala sesuatu – situasi, peristiwa, keadaan lingkungan, pengalaman, atau pemikirkan tentang yang sedang terjadi – merupakan pemicu (A) bagi terciptanya suatu pikiran tertentu di dalam benak (B) yang menciptakan suatu respons dalam bentuk perasaan dan perilaku (C).
Kebanyakan orang selalu hidup dengan harga diri yang rendah, dengan keyakinan yang destruktif. Dalam pikiran mereka, telah terbentuk keyakinan destruktif yang membelenggu diri sendiri sehingga cara pandang mereka pun sangat destruktif. Jika, misalkan, mereka bertemu dengan teman mereka, dan ternyata saat itu teman mereka tak menegur mereka atau tak menyapa mereka saat berpapasan, maka hal ini sering kali menjadi pemicu (A) dalam pikiran mereka (B), dan melahirkan suatu perasaan dan perilaku tertentu (C). Mari kita lihat simulasi model ABC ini!
Suatu hal pemicu (A) berupa: Temanku tak menyapaku saat berpapasan tadi. Keyakinan destruktif tentang A (B) adalah dia tak menyukaiku/dia tidak acuh padaku, aku tak bisa bergaul dengan orang lain, semua orang harus menyukaiku agar aku merasa bahagia dan berharga. Respons (C) yang terjadi berupa perasaan depresi, merasa tak berharga, dan perilaku berupa menghindari semua orang atau membenci semua orang.
Inilah pemicu terciptanya siklus pada kebanyakan orang yang memiliki keyakinan destruktif. Suatu siklus yang lama kelamaan melemahkan diri sendiri. Penting juga untuk dicatat dan diingat bahwa sesungguhnya pemicu (A) tak menyebabkan secara langsung pada suatu respons (C). Yang terjadi adalah bahwa yang menyebabkan respons (C) adalah keyakinan pada diri seseorang (B). Sebab, setiap pemicu (A) bisa saja melahirkan suatu respons yang berbeda jika ditanggapi dengan keyakinan yang berbeda pula, dalam hal ini keyakinan konstruktif. Itu karena setiap keyakinan adalah konsep yang telah berubah menjadi perasaan. Dan perasaan adalah energi yang menggerakkan. Sehingga beda keyakinan berarti beda perasaan, dan beda perasaan berarti beda kecenderungan dalam bersikap dan berperilaku.
Seseorang menjadi tak berdaya atau menjadi berdaya, sesungguhnya disebabkan oleh apa yang mereka yakini tentang kehidupan ini, apakah itu berjalan sebagaimana mestinya atau tak berjalan sebagaimana yang tak diharapkan. Semakin seseorang meyakini bahwa kehidupan ini mesti berjalan sesuai keinginan ego, maka semakin sering mengalami perasaan destruktif, walau itu hanya dipicu oleh kejadian sepele. Dan sebaliknya, semakim kita meyakini bahwa kehidupan adalah ladang kesempatan untuk terus berbuat baik, maka semakin konstruktif perasaan kita, yang pada gilirannya mendorong kita menjadi lebih dewasa dalam bersikap dan berperilaku.
@pakarpemberdayaandiri