KINERJAEKSELEN.co, Jakarta – Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung atas dugaan suap Rp60 miliar terkait putusan lepas (ontslag) dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) periode 2021-2022.
Suap senilai Rp 60 miliar diduga diberikan oleh dua advokat, Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR), melalui perantara Wahyu Gunawan (WG), seorang Panitera Muda Perdata PN Jakarta Pusat. Uang tersebut diperuntukkan bagi Arif Nuryanta untuk memastikan putusan yang menguntungkan pihak korporasi. Selain uang, suap juga mencakup barang mewah.
Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat dan bagian dari majelis hakim, diduga menerima suap untuk mempengaruhi putusan perkara korupsi izin ekspor CPO. Tujuannya adalah agar terdakwa korporasi (tiga perusahaan kelapa sawit) mendapatkan putusan ontslag (lepas dari segala tuntutan hukum).
“ Penyidik Kejaksaan Agung menetapkan empat orang sebagai tersangk karena telah ditemukan bukti yang cukup terjadinya tindak pidana suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” kata Direktur Penyidikan [Dirdik] Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar dalam konferensi pers Sabtu [12/4] malam.
Selain Arif, Kejagung juga menetapkan tiga orang tersangka lainnya, yaitu Panitera Muda Perdata Jakarta Utara berinisial WG, Kuasa Hukum Korporasi Marcella Santoso, dan seorang advokat berinisial AR.
Mereka diduga terlibat dalam korupsi berupa suap dan gratifikasi untuk mengatur perkara yang dihadapi oleh ketiga korporasi tersebut.
Berdasarkan amar putusan yang diperoleh dari laman resmi Mahkamah Agung, diketahui bahwa pada 19 Maret 2025, ketiga korporasi tersebut dibebaskan dari semua tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus pemberian fasilitas ekspor CPO antara Januari 2021 hingga Maret 2022.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, para terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, namun perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai tindak pidana, sehingga mereka dibebaskan dari semua dakwaan JPU.
Sementara itu, dalam keterangan resmi Kejaksaan Agung, JPU sebelumnya menuntut para terdakwa untuk membayar sejumlah denda dan uang pengganti. Terdakwa PT Wilmar Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 11.880.351.802.619.
Jika tidak dibayarkan, harta Tenang Parulian selaku Direktur dapat disita dan dilelang, dengan ancaman pidana penjara selama 19 tahun. Terdakwa Permata Hijau Group dituntut untuk membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 937.558.181.691,26.
Jika tidak dibayarkan, harta David Virgo selaku pengendali korporasi tersebut dapat disita, dengan ancaman pidana penjara selama 12 bulan.
Sementara itu, Musim Mas Group dituntut untuk membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 4.890.938.943.794,1.
Jika tidak dibayarkan, harta para pengendali Musim Mas Group, termasuk Ir. Gunawan Siregar selaku Direktur Utama, akan disita untuk dilelang, dengan ancaman pidana penjara masing-masing selama 15 tahun.
Para terdakwa diduga melanggar dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001.
Sumber: Kompas.com