Opini  

Demokrasi Religius: Pemahaman Islam Terus Berkembang

Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA.,

Oleh : Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA., Dosen FAI-Pascasarjana UMY dan LARI (Lingkar Akademisi Reformis Indonesia)

Banyak umat Islam yang tidak bisa membedakan antara AGAMA Islam dengan PEMAHAMAN Islam, antara QUR’AN dengan TAFSIR, antara HADIS Nabi dengan ULUMUL Hadis, antara SYARIAT dgn FIKIH/Usul fikih, dll.

Agama Islam, Quran, Hadis, Syariat merupakan PIKIRAN Allah dan Nabi yang PERMANEN. Sedangkan pemahaman, tafsir, ulumul hadis, fikih, usul fikih, ilmu Nahu, tarikh, dll, SEMUANYA BIKINAN ULAMA yang serba RELATIF, TEMPORER dan SELALU TERBUKA untuk berubah dan berkembang.

Tentu tidak bisa disamakan atau disejajarkan antara pikiran Allah dengan hasil pemikiran ulama yang terikat dengan ruang, zaman, serta keterbatasan ilmu yang dimiliki semua ulama sebagai manusia biasa. Masing-masing ulama memiliki KETERBATASAN ilmu, karena perbedaan: bacaan, referensi, guru, serta berbagai persoalan sosial yang dihadapi para ulama sesuai konteks sosial dan waktu masing-masing.

Antar ulama juga sering saling berbeda: USLUB, USHUL, QAEDAH, MANHAJ, METODE dan PENDEKATAN masing-masing dalam memahami Islam. Itulah sebabnya terdapat ratusan MAZHAB: fikih, akidah, akhlaq, tafsir, filsafat, tasawuf, sejarah, penafsiran hadis serta ilmu-ilmu keagamaan dan sosial lainnya.

Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan: “Siapa yang berijtihad dengan benar akan mendapat dua pahala. Siapa yang masih salah dalam berijtihad, tetap mendapatkan satu pahala”. Jadi, Islam tetap memberi apresiasi terhadap ulama yang telah dengan serius dalam berijtihad, walaupun hasilnya belum benar. Kebebasan berijtihad ini yang memperluas khazanah studi (dirasah islamiyah), pemikiran (fikrah islamiyah) dan peradaban (hadlarah islamiyah), sejak era klasik, modern, kontemporer hingga masa dan abad yang akan datang.

Perlu dicatat bahwa pintu ijtihad tidak boleh ditutup, dan selalu terbuka sepanjang masa hingga akhir zaman. Sarana ijtihad lah yang menjadikan Islam tetap selalu relevan dengan berbagai dinamika sosial dan zaman (al-Islam shalihun li kulli zaman wa makan). IJTIHAD menjadikan peradaban Islam terus berkembang, sedangkan fanatisme TAQLID membuat pemahaman umat Islam menjadi stagnan. Tanggungjawab pengembangan dan pengembaraan ruang-ruang baru ijtihad yang kontekstual ini diserahkan sepenuhnya kepada para Doktor baru di bidang Islamic studies dalam berbagai disiplin ilmu, Interdisiplin dan Transdisiplin.

Kata Prof Mohammed Arkoun (guru besar Sorbonne University, asal Aljazair): umat Islam jangan mensakralkan pemikiran (TAQDIS AL-AFKAR), karena setiap zaman memiliki EPISTEME pemikirannya masing-masing. Wallahu a’lam bisshawab.

[red]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *