Opini  

Demokrasi Religius: Prabowo, Capres Tengahan

Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA, Dosen FAI-Pascasarjana UMY dan LARI (Lingkar Akademisi Reformis Indonesia)

Prof. Dr. Muhammad Azhar, Dosen FAI-Pascasarjana UMY dan LARI (Lingkar Akademisi Reformis Indonesia)

Jelang Pilpres 2024, pemanasan politik koalisi dan pengajuan atau perbincangan balon capres-cawapres makin semarak. Sesuatu hal yang wajar dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Bahkan secara implisit maupun eksplisit, aura kampanye sang balon tersebut telah dimulai, walaupun secara resmi KPU belum menetapkan masa kampanye yang defenitif.

Sejauh ini, baru dua balon capres yang “dideklarasikan”: Prabowo Subianto dan Anis Baswedan. Secara legal, keduanya baru sebatas balon. Kepastian mereka berdua masih menunggu dinamika politik ke depan hingga 2023. Ibarat permainan sepakbola, keputusan final tentang figur mana nanti yang defenitif menjadi capres beneran, masih menunggu momentum injury time.

Boleh jadi yang kini jadi balon, gagal jadi capres-cawapres yang defenitif. Sebaliknya, figur lain yang belum ditetapkan, boleh jadi malah bakal jadi capres dan cawapres sungguhan. Permainan “sepak bola” politik 2024 masih sangat terbuka ruang adanya perubahan dinamika.

Bila dilihat dari beberapa survei yang dinilai kredibel: Litbang Kompas, LSI, SMRC, Indobarometer, Poltracking, Charta Politika; paling tidak, ada tiga figur yang masih unggul sebagai balon capres: Ganjar, Prabowo dan Anis. Beberapa lembaga survei yang belum populer, juga saling mengunggulkan diantara ketiga tokoh tersebut.

Yang menjadi fokus perhatian Penulis di sini adalah, diantara tiga balon capres tersebut: figur Ganjar versus Anis merupakan dua figur yang paling diperhadapkan secara diametral oleh masing-masing kubu, terutama di dunia medsos. Perseteruan antar dua kubu yang kategori negative campaign, tentu masih sehat, yakni membuka kelemahan kinerja Ganjar dan Anis berbasis rasionalitas dan data.

Namun tidak sedikit pula yang terjebak pada wilayah black campaign yang masuk dalam kategori hoax, yang sudah pasti tidak kondusif bagi pengembangan demokrasi di masa depan.

Untuk figur Prabowo, tampaknya perseteruan antara follower Jokowi dengan pengagum Prabowo jauh menurun dibanding saat pilpres 2014 dan 2019. Kesediaan Prabowo berpartisipasi dalam pemerintahan Jokowi, sekaligus penerimaan Jokowi atas masuknya Prabowo ke kabinet Indonesia Maju, berkontribusi besar menurunnya tensi politik antar dua kubu tersebut.

Namun, seiring dengan semakin dekatnya pilpres 2024, tensi ketegangan politik dua pilpres yang lalu kembali meningkat, dimana figur Jokowi digantikan oleh Ganjar, vis a vis dengan figur Anis sebagai alternatif Prabowo yang sudah menyeberang ke kubu Jokowi.

Secara psikologi politik, keterbelahan politik dua pilpres yang lalu bakal berulang untuk ketiga kalinya. Psikologi politik follower Jokowi tentu ingin mempertahankan reputasi Jokowi , dimana Ganjar sebagai tokoh yang ideal. Sementara psikologi politik kubu Anis tentu lebih berat lagi, karena tidak ingin kalah ketiga kalinya.

Di tengah dua ketegangan psikologi politik ini pula berbagai black campaign, politik pencitraan, hingga politik identitas, kembali dimainkan, yang sudah pasti akan menurunkan kembali kualitas demokrasi.

Untuk mengantisipasi muncul dan semakin panjangnya keterbelahan politik diatas, penulis melihat, figur Prabowo dapat menjadi capres alternatif yang paling moderat dan tengahan, yang bisa menyembuhkan bahkan memutus fenomena keterbelahan tersebut.

Jika Ganjar jadi pemenang, maka luka psikologis follower Anis semakin bertambah dalam, karena sudah lama menunggu 10 tahun dan akan bertambah menjadi 15 hingga 20 tahun, jika Ganjar bertahan dua periode. Rezim Ganjar juga akan terus didera hiruk pikuk politik dari oposisi yang sudah lama kecewa secara politik.

Demikian pula sebaliknya, jika Anis pemenang, maka kubu Jokowi/Ganjar tidak akan tinggal diam dan akan terus merecoki rezim Anis kelak, sebagai “karma politik” yang dilakukan kubu opisisi selama ini . Dua fenomena ini sama-sama tidak sehat untuk perjalanan bangsa ke depan.

Walaupun tidak ideal bagi kedua kubu, kehadiran figur Prabowo bisa mereduksi tensi psikologi politik dua kubu yang berseberangan. Minimal, jika Prabowo menjadi presiden 2024-2029, eks follower Prabowo menjadi lebih terobati setelah menderita kekalahan politik dua periode yang lalu. Mayoritas follower Jokowi juga sudah bisa menerima karena Prabowo telah menunjukkan loyalitasnya membantu Jokowi dengan ikhlas dan besar hati untuk memajukan Indonesia.

Selain itu, dibanding Ganjar dan Anis, Prabowo tentu jauh lebih berpengalaman dan berpandangan lebih luas tentang perjalanan Indonesia lima tahun terakhir, dan sangat memahami bagaimana melanjutkan estafet kepemimpinan yang telah diukir selama ini, sebab Prabowo sudah lima tahun berada dalam jajaran kabinet.

Mudah-mudahan gagasan politik moderasi ini dapat membawa kemaslahatan bangsa ke depan, dan pilpres 2024 merupakan momen yang tepat menurunkan bahkan mengakhiri keterbelahan politik selama ini.

Pilpres 2024, momentum bagus bagi para elit dan rakyat untuk kembali bersatu membangun bangsa, demi masa depan generasi emas Indonesia yad. Wallahu a’lam bisshawab.

[red]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *