Opini  

Pak Prabowo : Jangan Lawan Pasar, Tapi Dengarkan Alarmnya

Mengapa Prabowo Tak Bisa Anggap Remeh Anjloknya IHSG: Dampaknya Sangat Besar Buat MBG dan Bansos

Foto ilustrasi istimewa

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Presiden Prabowo Subianto pernah menyatakan bahwa dirinya tidak khawatir dengan ancaman anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akibat program makannya.

Alasan beliau sederhana: rakyat kecil dan dirinya sendiri tidak bermain saham. Tapi, apakah benar krisis di pasar saham hanya urusan “pemain bursa”? Ternyata tidak.

Anjloknya IHSG bisa menjadi alarm bahaya bagi kemampuan negara membiayai masa depan, termasuk program-program Prabowo sendiri.

IHSG Bukan Cuma Urusan Investor, Tapi Juga Kepercayaan Global

Prabowo mungkin benar bahwa mayoritas rakyat di desa tidak memegang saham. Tapi, jatuhnya IHSG bukan sekadar tentang kerugian investor.

Ini adalah cerminan kepercayaan asing terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.

Saat IHSG anjlok 6% pada Maret lalu, ada indikasi kuat bahwa investor asing mulai menarik dana besar-besaran (Rp26,9 triliun!).

Mereka khawatir dengan risiko ekonomi Indonesia, seperti melemahnya rupiah, defisit anggaran, atau ketegangan politik.

Ketika kepercayaan investor asing turun, imbasnya langsung terasa ke Surat Berharga Negara (SBN).

Yield SBN (imbal hasil utang pemerintah) akan melonjak karena investor meminta “harga lebih mahal” untuk meminjamkan uang ke Indonesia.

Jika sebelumnya yield SBN 10 tahun sekitar 5%, investor mungkin menuntut 7% atau lebih karena melihat Indonesia lebih berisiko.

Akibatnya, utang pemerintah jadi lebih mahal, dan anggaran untuk program-program seperti makan gratis atau infrastruktur bisa tergerus untuk bayar bunga utang.

Utang Makin Mahal = Program Sosial Terancam

Bayangkan: jika yield SBN naik 1% saja, pemerintah harus mengeluarkan tambahan triliunan rupiah hanya untuk membayar bunga utang.

Dana yang seharusnya dipakai untuk membangun sekolah, memberi makan anak-anak, atau subsidi listrik, malah “kabur” ke kantong investor asing.

Ini seperti lingkaran setan: kepercayaan turun → utang makin mahal → anggaran sosial dipotong → rakyat menderita → kepercayaan makin turun.

Prabowo sendiri punya rencana besar seperti program makan bergizi yang butuh dana Rp400 triliun lebih.

Jika SBN yield terus naik karena pasar khawatir, dari mana uangnya?

Pemerintah terpaksa memilih: utang lebih dalam (dengan bunga tinggi) atau mengurangi skala program. Keduanya tidak ideal.

Jangan Salah, Ancaman Eksternal Nyata!

Prabowo mungkin menganggap ancaman IHSG anjlok hanya “gertakan”, tapi faktor eksternal seperti kemenangan Donald Trump di AS bisa jadi bumerang.

Trump dikenal suka memicu perang dagang, dan jika Indonesia kena imbas, ekspor bisa terhambat.

Nilai rupiah yang sudah melemah 0,6% sejak Januari bisa semakin tertekan, membuat harga SBN Indonesia di mata asing makin tidak menarik.

Belum lagi lembaga rating seperti Morgan Stanley dan Goldman Sachs yang memangkas penilaian saham Indonesia.

Ini seperti “stempel merah” yang membuat investor berpikir dua kali sebelum menaruh uang di Indonesia.

Jika diabaikan, reputasi Indonesia di mata global bisa rusak parah.

Rakyat Desa Tidak Main Saham, Bukan Alasan untuk Abai

Benar, rakyat desa mungkin tidak punya saham. Tapi mereka akan merasakan efek domino jika negara kesulitan bayar utang atau anggaran sosial dipotong.

Harga kebutuhan pokok bisa naik karena rupiah melemah, lapangan kerja menyusut jika investor kabur, atau program bansos terhambat karena anggaran teralihkan.

Prabowo perlu sadar: pasar saham adalah early warning system.

Anjloknya IHSG adalah tanda bahwa ada yang salah dengan kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah.

Mengabaikannya sama saja dengan menutup mata dari badai yang bisa menghancurkan perekonomian.

Catatan Penting: Dengarkan Alarm Pasar

Prabowo tidak perlu takut pada ancaman pasar, tapi juga tidak boleh menganggapnya sebagai “bluffing”.

Jika IHSG terus jatuh, imbasnya akan nyata ke seluruh rakyat, bukan cuma pemegang saham.

Solusinya bukan menghindari program sosial, tapi membangun komunikasi dengan pasar, menjaga defisit anggaran, dan memperkuat fundamental ekonomi.

Jika tidak, Indonesia bisa terjebak dalam krisis biaya utang yang mencekik, dan program-program prioritas Prabowo hanya akan jadi mimpi di siang bolong.

Jangan sampai niat baik menghidupi rakyat malah terhambat karena keuangan negara terkunci oleh bunga utang yang membengkak.

End

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *