Oleh Syahril Syam *)
Jika seseorang percaya bahwa semakin tua berarti semakin sakit, mereka cenderung mulai menghindari aktivitas fisik atau mengabaikan tanda-tanda kesehatan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan penurunan kondisi fisik mereka. Sebaliknya, jika seseorang percaya bahwa mereka bisa tetap sehat meski usia bertambah, mereka mungkin lebih rajin berolahraga dan menjaga pola makan, yang pada akhirnya membuat mereka lebih sehat.
Begitu pula jika seorang siswa percaya bahwa dia tidak pintar atau tidak akan bisa berhasil, dia mungkin tidak berusaha maksimal dalam belajar, yang pada akhirnya membuat nilai-nilainya buruk, memperkuat keyakinannya bahwa dia memang tidak pandai. Sebaliknya, jika seorang siswa yakin bahwa dia bisa sukses dengan usaha yang cukup, dia cenderung akan lebih bersemangat belajar dan memperoleh hasil yang baik, yang memperkuat keyakinannya.
Fenomena di atas disebut dengan Self-Fulfilling Prophecy atau Ramalan yang Terealisasi Sendiri, yaitu proses dimana keyakinan atau ekspektasi seseorang, meskipun awalnya salah atau tidak akurat, memengaruhi tindakan dan perilaku sedemikian rupa sehingga ramalan itu menjadi kenyataan. Dengan kata lain, keyakinan atau prediksi kita, baik yang benar maupun salah, memengaruhi perilaku kita sehingga membuat keyakinan atau prediksi tersebut menjadi kenyataan. Apa yang kita percayai atau harapkan tentang diri kita atau orang lain seringkali memengaruhi tindakan kita, dan tindakan tersebut kemudian berkontribusi pada terjadinya hasil yang sesuai dengan keyakinan kita.
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Robert K. Merton pada tahun 1948. Walau demikian, Sosiolog W. I. Thomas dan Dorothy Swaine Thomas adalah ilmuwan Barat pertama yang meneliti fenomena ini. Pada tahun 1928, mereka mengembangkan teorema Thomas (juga dikenal sebagai Thomas dictum): “Jika manusia mendefinisikan situasi sebagai nyata, maka situasi tersebut nyata dalam konsekuensinya.” Robert K. Merton melanjutkan penelitian ini dan dianggap sebagai pencetus istilah self-fulfilling prophecy, serta mempopulerkan gagasan bahwa “keyakinan atau harapan, baik benar maupun salah, dapat menghasilkan hasil yang diharapkan atau diinginkan.”
Dalam self-fulfilling prophecy, perasaan adalah pemicu utama, sedangkan tindakan adalah sarana untuk mewujudkan keyakinan itu. Perasaan (seperti optimisme, percaya diri, atau kecemasan) memengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. Setelah perasaan memotivasi kita, tindakan menjadi langkah konkret untuk mewujudkan keyakinan tersebut. Tindakan ini menjadi mekanisme yang “menghidupkan” prediksi yang kita miliki, sehingga prediksi itu menjadi kenyataan.
Jadi, saat kita memiliki keyakinan atau harapan tentang suatu hal, baik itu diri sendiri, orang lain, atau situasi, maka berdasarkan keyakinan tersebut, kita mengubah perilaku kita, bahkan secara tidak sadar, untuk mencocokkan harapan kita. Kemudian lingkungan atau orang lain merespons perilaku ini dengan cara yang memperkuat keyakinan awal tersebut.
Akhirnya, hasil yang diinginkan atau yang dikhawatirkan terjadi, mengonfirmasi keyakinan awal, meskipun awalnya itu hanya sebuah asumsi. Efek self-fulfilling prophecy menunjukkan betapa kuatnya keyakinan dan pikiran kita dalam membentuk realitas kita. Jika kita memiliki keyakinan yang positif atau optimis tentang diri kita dan masa depan, kita lebih mungkin untuk membuat keputusan dan tindakan yang mendukung hasil positif. Sebaliknya, keyakinan negatif dapat membatasi potensi seseorang dan menciptakan hambatan yang tidak perlu.
Merton mengembangkan konsep ini untuk menunjukkan bagaimana keyakinan atau asumsi dalam masyarakat dapat membentuk realitas sosial. Ia menekankan bagaimana prasangka, stereotip, dan keyakinan tentang kelompok tertentu (misalnya, ras, gender, atau kelas sosial) dapat memperkuat ketidaksetaraan sosial. Konsep ini menjadi dasar untuk memahami banyak fenomena sosial, seperti bias dalam pendidikan, diskriminasi di tempat kerja, atau dinamika politik. Merton menunjukkan bagaimana keyakinan dan perilaku kita saling terkait, serta pentingnya mengubah pola pikir untuk menghindari dampak negatif dari self-fulfilling prophecy. Konsep ini kini digunakan dalam berbagai disiplin, termasuk psikologi, pendidikan, ekonomi, dan manajemen.
@pakarpemberdayaandiri