Mengapa Puasa Merupakan Kewajiban yang Ditujukan Untuk Orang Beriman?

Syahril Syam, ST., C.Ht., L.NLP

Oleh: Syahril Syam *)

Banyak orang memang terlihat patuh saat berkendara, misalnya berhenti saat lampu merah menyala. Namun, kepatuhan ini seringkali bukan berasal dari kesadaran penuh akan pentingnya aturan lalu lintas, melainkan karena mereka sudah terbiasa mengikuti aturan yang ada.

Hal ini terjadi karena sejak awal, aturan dibuat untuk membentuk kebiasaan dalam diri manusia agar mereka secara otomatis menaatinya. Dengan kata lain, kewajiban sebenarnya adalah cara untuk mengondisikan manusia agar terbiasa melakukan sesuatu tanpa perlu berpikir panjang, sehingga aturan yang awalnya terasa sebagai beban lama-kelamaan menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari.

Aturan dan kewajiban sebenarnya dibuat bukan hanya untuk menjaga keteraturan dalam masyarakat, tetapi juga untuk kebaikan diri kita sendiri. Dengan adanya aturan, manusia dibiasakan untuk bertindak dengan cara tertentu hingga akhirnya menjadi kebiasaan. Aturan memakai helm saat berkendara bukan sekadar peraturan lalu lintas, tetapi juga untuk melindungi diri sendiri. Awalnya, kewajiban ini mungkin terasa sebagai sesuatu yang dipaksakan, tetapi seiring waktu, pengulangan kebiasaan ini bisa menumbuhkan kesadaran. Harapannya, seseorang tidak lagi menaati aturan hanya karena takut dihukum, melainkan karena benar-benar memahami manfaatnya dan secara sadar menjadikannya bagian dari kehidupan sehari-hari.

Setiap kali kita menjalankan suatu kewajiban, baik dengan sadar maupun tanpa sadar, sebenarnya kita mengakui keberadaan pihak yang membuat aturan tersebut. Meskipun kita tidak selalu memikirkan siapa yang menetapkannya, kenyataan bahwa kita mengikuti aturan menunjukkan bahwa kita menerima adanya otoritas yang mengaturnya.

Ketika seseorang berhenti di lampu merah, ia mungkin melakukannya karena sudah terbiasa atau takut kena tilang, bukan karena benar-benar memikirkan siapa yang menetapkan aturan itu. Namun, tetap saja, dengan mengikuti aturan tersebut, ia secara tidak langsung mengakui bahwa ada sistem yang mengatur lalu lintas. Dengan kata lain, kepatuhan terhadap suatu kewajiban, baik karena kesadaran maupun kebiasaan, tetap menunjukkan bahwa kita hidup dalam tatanan aturan yang telah ditetapkan oleh pihak tertentu.

Itu berarti, kepatuhan terhadap kewajiban, baik secara sadar maupun tidak, menunjukkan bahwa kita mengakui adanya aturan dan pihak yang menetapkannya, bahkan jika kita tidak selalu setuju atau memahami alasannya. Ketika seseorang mengakui adanya suatu otoritas, itu berarti ia meyakini keberadaan otoritas tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat hal ini terjadi.

Ketika seseorang mematuhi aturan lalu lintas, itu menunjukkan bahwa ia mengakui adanya pemerintah yang berwenang mengatur jalan raya. Hal yang sama berlaku dalam keimanan. Jika kita benar-benar meyakini keberadaan Sang Maha Sempurna, maka sudah sewajarnya kita mengikuti aturan yang telah ditetapkan-Nya.

Keimanan bukan sekadar percaya di dalam hati, tetapi juga tercermin dalam tindakan. Jika seseorang mengaku beriman, namun tidak menjalankan aturan yang ditetapkan oleh Sang Maha Sempurna, maka keyakinannya bisa dipertanyakan. Sama seperti dalam kehidupan sosial, pengakuan terhadap suatu otoritas akan secara alami diikuti oleh kepatuhan terhadap aturan yang dibuatnya. Oleh karena itu, dalam keimanan, menjalankan perintah Sang Maha Sempurna bukanlah sesuatu yang terpisah dari keyakinan, melainkan konsekuensi logis dari iman.

Meskipun seseorang masih merasa terpaksa untuk mengikuti aturan, itu tetap menunjukkan bahwa ia mengakui adanya otoritas yang menetapkannya. Dalam konteks keimanan, ini bisa dilihat sebagai tahap awal dalam perjalanan spiritual seseorang. Tidak semua orang langsung menjalankan aturan agama dengan penuh keikhlasan sejak awal. Ada yang melakukannya karena kebiasaan, takut dihukum, atau hanya mengikuti lingkungan sekitar.

Namun, jika seseorang terus menjalankan aturan tersebut, seiring waktu, ada kemungkinan bahwa kesadaran dan keikhlasan akan tumbuh dalam dirinya. Sama halnya seperti seseorang yang awalnya menaati aturan lalu lintas hanya karena takut denda, tetapi seiring waktu ia mulai memahami bahwa aturan tersebut dibuat demi keselamatan bersama.

Begitu juga dalam keimanan, meskipun seseorang awalnya mengikuti aturan agama secara terpaksa, jika ia terus melakukannya, ada peluang bagi imannya untuk berkembang dan semakin matang. Dengan demikian, kepatuhan yang awalnya terpaksa bisa menjadi jalan menuju keimanan yang lebih dalam dan tulus.

Oleh sebab itu, untuk melaksanakan kewajiban, kita harus terlebih dahulu mengakui adanya otoritas yang menetapkan perintah tersebut. Tanpa adanya pengakuan terhadap otoritas, seseorang mungkin tidak akan merasa perlu atau termotivasi untuk mengikuti aturan yang ada.

Keimanan atau keyakinan terhadap pihak yang memberi perintah menjadi dasar untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Dalam agama, jika kita percaya kepada Sang Maha Sempurna dan mengakui bahwa Sang Maha Sempurna memiliki otoritas untuk menentukan apa yang baik dan benar, maka kita akan lebih cenderung untuk menjalankan perintah-Nya. Hal yang sama berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita mengakui adanya hukum dan pemerintah, kita akan merasa wajib mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Jadi, pengakuan terhadap otoritas ini sangat penting, karena menjadi dasar bagi seseorang untuk menjalankan kewajiban dengan kesadaran dan tanggung jawab.

Meskipun seseorang terkadang tidak melaksanakan kewajibannya dengan kesadaran penuh, pelaksanaan tersebut tetap menunjukkan adanya pengakuan terhadap eksistensi otoritas yang menetapkan aturan tersebut. Banyak orang yang mengikuti aturan atau kewajiban bukan karena mereka benar-benar memahami alasan di baliknya, tetapi karena mereka sudah mengakui adanya pihak yang berwenang untuk membuat aturan itu.

Seseorang bisa saja berhenti di lampu merah bukan karena kesadaran akan pentingnya keselamatan, tetapi karena ia tahu ada otoritas yang menetapkan aturan tersebut dan ada hukuman jika dilanggar. Begitu juga dalam kehidupan beragama, meskipun seseorang tidak selalu melaksanakan perintah Sang Maha Sempurna dengan sepenuhnya sadar, pengakuan terhadap keberadaan Sang Maha Sempurna dan otoritas-Nya tetap menjadi dasar bagi pelaksanaan kewajiban tersebut. Dengan kata lain, meskipun seseorang belum sepenuhnya sadar, pengakuan terhadap otoritas tetap mendorongnya untuk mengikuti kewajiban yang ada.

Puasa memang diwajibkan kepada orang-orang yang beriman, dan hal ini sangat logis. Puasa bukan hanya soal menahan makan dan minum, tetapi juga merupakan bentuk ibadah yang membutuhkan niat dan kesadaran yang berasal dari iman. Bagi orang yang beriman, puasa adalah cara untuk menunjukkan ketaatan dan pengabdian kepada Sang Maha Sempurna yang telah memerintahkan untuk melaksanakannya.

Orang yang tidak memiliki keyakinan atau tidak mengakui keberadaan Sang Maha Sempurna mungkin tidak akan menjalankan puasa dengan sepenuh hati, karena tidak ada dorongan dari keyakinan untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Oleh karena itu, puasa menjadi kewajiban yang logis hanya bagi orang yang beriman, karena iman menjadi dasar bagi niat dan ketulusan dalam menjalankan puasa, bukan sekadar sebagai kewajiban semata.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *