Pentingnya Motivasi Intrinsik

Syahril Syam

Oleh: Syahril Syam *)

Jika kita mengupas tentang motivasi intrinsik (internal), maka kita akan berkenalan dengan Edward Deci dan Richard Ryan, dua orang profesor psikologi di Universitas Rochester. Pada akhir tahun 1960-an, Deci tertarik untuk memahami bagaimana motivasi bekerja, terutama terkait dengan perbedaan antara motivasi intrinsik (yang berasal dari dalam diri kita) dan motivasi ekstrinsik (yang berasal dari luar, seperti hadiah atau insentif). Eksperimen ini dirancang untuk melihat bagaimana hadiah uang memengaruhi motivasi intrinsik seseorang dalam melakukan tugas yang menyenangkan.

Deci menugaskan dua kelompok mahasiswa psikologi untuk memecahkan teka-teki kubus Soma dalam tiga sesi berbeda, seolah-olah sebagai bagian dari proyek penelitian tentang pemecahan masalah. Pada sesi kedua, satu kelompok dibayar untuk setiap teka-teki yang berhasil diselesaikan, sementara kelompok lainnya tidak. Pada sesi ketiga dengan orang yang sama, tidak ada kelompok yang dibayar.

Ketika Deci mengumumkan bahwa waktunya telah habis, dan meninggalkan peserta di masing-masing dari dua ruangan sendirian untuk sementara waktu, anggota kelompok yang telah dibayar untuk pekerjaan mereka cenderung menjauh dari tugas untuk membaca majalah, sementara kelompok yang tidak pernah dibayar lebih cenderung untuk terus mengerjakan teka-teki. Deci menyimpulkan bahwa orang-orang yang ditawari uang tidak lagi mengalami motivasi intrinsik. Hadiah eksternal (seperti uang) telah mengurangi motivasi intrinsik mereka untuk melakukan sesuatu yang seharusnya menyenangkan.

Bersama dengan Richard Ryan, mereka kemudian mengembangkan Self-Determination Theory (SDT) yang dapat diartikan sebagai Teori Penentuan Diri atau Teori Determinasi Diri. Secara sederhana, teori ini membahas bagaimana manusia termotivasi untuk melakukan tindakan tertentu berdasarkan faktor-faktor internal mereka sendiri, bukan karena paksaan dari luar. Shigehiro Oishi, seorang profesor psikologi di Universitas Virginia, mengatakan, “SDT telah menjadi perkembangan besar dalam psikologi. SDT menunjukkan bahwa behaviorisme Skinnerian memiliki keterbatasan besar karena penghargaan dan hukuman tidak selalu mengubah perilaku seseorang. SDT menunjukkan bahwa ada faktor motivasi lain selain insentif eksternal.” SDT menumbangkan kepercayaan dominan bahwa cara terbaik untuk membuat manusia melakukan tugas adalah dengan memperkuat perilaku mereka dengan penghargaan.

SDT mengatakan bahwa kita, sebagai manusia, memiliki tiga kebutuhan psikologis utama yang, jika terpenuhi, akan membuat kita merasa lebih termotivasi dan bahagia. Pertama, Otonomi (Kebebasan Pilihan), yaitu kita ingin merasa punya kendali atas tindakan kita. Kita merasa lebih termotivasi ketika kita bisa membuat keputusan sendiri, bukan dipaksa atau diarahkan secara ketat; kedua, Kompetensi (Rasa Mampu), yaitu kita ingin merasa bahwa kita bisa melakukan sesuatu dengan baik. Saat kita merasa mampu dan terampil dalam melakukan tugas, kita merasa lebih termotivasi untuk melakukannya; dan ketiga, Keterhubungan (Hubungan dengan Orang Lain), yaitu kita ingin merasa diterima dan terhubung dengan orang lain. Saat kita merasa didukung, dihargai, dan memiliki hubungan positif, kita lebih semangat dalam beraktivitas.

Saat kita memilih hobi yang kita sukai, misalnya, bermain gitar, melukis, atau olahraga, kita akan melakukannya bukan karena “harus”, tapi karena kita “menikmati” prosesnya. Kita merasa punya “kendali” penuh atas bagaimana cara kita bermain gitar (otonomi), merasa “terampil” karena kita semakin mahir (kompetensi), dan merasa “bahagia” ketika bermain gitar bersama teman-teman (keterhubungan). Inilah contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari tentang betapa seringnya kita mengalamai motivasi intrinsik. Motivasi yang sesungguhnya telah ada di dalam diri kita. Sayangnya, gemerlap duniawi lebih sering menghapus motivasi internal ini.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *