Oleh: Syahril Syam *)
Dengan didasarkan pada sila ke-4 Pancasila – Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, organisasi membuat aturan bahwa jika tidak tercapai kesepakatan bersama, maka akan dilaksanakan voting pada suatu hal yang akan diputuskan secara bersama. Masalah pada voting akan terjadi jika ada yang egois, yaitu jika ada yang lebih cenderung mengakui keberadaan dirinya melalui pendapatnya sendiri dan tidak mau mengakui hasil voting. Dengan kata lain, ada anggota organisasi yang tidak mau menyatu dengan anggota lainnya.
Begitu pula dalam hubungan suami-istri, cinta adalah elemen inti yang membawa pasangan bersama. Cinta yang tulus dalam pernikahan melibatkan pengorbanan, kasih sayang, dan hilangnya keegoisan. Dalam pernikahan yang harmonis, suami dan istri diharapkan menjadi “satu jiwa dalam dua tubuh”, dimana mereka bersatu secara emosional, mental, dan spiritual. Penyatuan ini bukan berarti hilangnya identitas pribadi sepenuhnya, melainkan pencapaian keselarasan dan kesatuan tujuan yang melibatkan kolaborasi yang mendalam.
Penyatuan berarti keduanya saling menyerahkan diri secara total, dengan tidak mengutamakan ego atau keinginan pribadi, melainkan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Itulah sebabnya, musuh terbesar manusia dalam proses penyatuan pada sesuatu yang lebih besar dan lebih baik adalah dirinya sendiri (ego). Ego selalu ingin diakui keberadaannya sehingga semua mesti terpusat pada dirinya (ego). Sehingga ketika manusia berhubungan dengan Sang Maha Sempurna, maka ego cenderung punya aturan main sendiri dan seringkali berlawanan dengan aturan dari Sang Maha Sempurna.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas (QS 4:142). Ayat ini menunjukkan bahwa untuk menyatu dengan Sang Maha Sempurna membutuhkan proses dan terdapat tingkatan-tingkatan di dalam proses tersebut. Aturannya jelas menyuruh kita untuk shalat, namun ego diri cenderung masih saja menghadirkan perasaan enggan. Kita masih merasa bahwa kita juga eksis selain Sang Maha Sempurna. Dan eksistensi kita layak disandingkan dengan-Nya.
Dengan demikian, perjalanan menuju kesempurnaan kemanusiaan kita sesungguhnya merupakan perjalanan penyatuan dengan Sang Maha Sempurna. Hidup di dunia adalah untuk menghilangkan ego secara total agar hati kita benar-benar menyatu dengan segala keinginan-Nya. Agar hati kita benar-benar ikhlas dengan segala ketetapan-Nya. Dimana lenyapnya identitas atau ego diri dalam Sang Maha Sempurna. Kita memiliki ego atau “nafs” (keinginan diri yang rendah), yang harus ditundukkan dan disucikan agar bisa mendekat kepada Sang Maha Sempurna.
Penyatuan ini mencerminkan penyatuan manusia dengan Sang Maha Sempurna dalam fana, di mana kita tidak lagi bertindak berdasarkan ego atau keinginan individu, tetapi sepenuhnya menyatu dengan kehendak Sang Maha Sempurna. Dalam fana, kita mencapai keadaan di mana kita “lenyap” dalam Sang Maha Sempurna tetapi tetap hadir di dunia, bertindak berdasarkan cinta dan kehendak Sang Maha Sempurna. Kita membutuhkan cinta yang begitu kuat kepada-Nya agar kita benar-benar rela untuk melepaskan ego rendah dan berkenan melakukan transformasi diri yang total.
Pada tahap ini, kita mengalami kebebasan sejati, yaitu kebebasan dari keterikatan duniawi dan kebebasan untuk hidup sepenuhnya dalam kehendak Sang Maha Sempurna. Meski demikian, hal ini tidak berarti bahwa manusia menjadi Tuhan, tetapi lebih kepada kehilangan batas antara diri dan Sang Maha Sempurna. Sang Maha Sempurna adalah satu-satunya realitas, sementara eksistensi individu “lenyap” dalam kesadaran dan kehendak Ilahi.
@pakarpemberdayaandiri