Pelayanan di bidang hukum, tanpa pungutan liar dan gratifikasi

Foto ilustrasi

 

Oleh : Fanki Sandra Utama*)

Sejak dicetuskannya Zona Integritas sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 90 Tahun 2021 tentang Pembangunan dan Evaluasi Zona Integritas Menuju WBK dan WBBM, memberikan harapan baru terhadap perubahan dibidang pelayanan publik.

Zona Integritas (ZI) merupakan sebutan atau predikat yang diberikan kepada kementerian, lembaga dan pemerintah daerah yang pimpinan dan jajarannya mempunyai niat (komitmen) untuk mewujudkan WBK dan WBBM melalui upaya pencegahan korupsi, reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Bahkan lembaga peradilan (Mahkamah Agung) mulai berbenah diri, guna memperoleh predikat  wilayah bebas korupsi.
Hal tersebut dilatarbelakangi akibat rendahnya kepatuhan/implementasi standar pelayanan mengakibatkan berbagai jenis maladministrasi (ketidakjelasan prosedur, ketidakpastian jangka waktu layanan, pungli). Diharapkan kedepannya, tidak ada lagi istilah “Uang Pelicin” yang dibebankan kepada masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan di lembaga peradilan. Namun masyarakat biasanya hanya bisa mendapatkan layanan terbaik apabila sudah memberi “Uang Pelicin”.

Permintaan “Uang Pelicin” ini pada umumnya dimintakan di akhir pemberian layanan dengan besaran yang beragam. Hal ini juga dibuktikan dengan berlarut larutnya lama waktu pelayanan yang diberikan kepada para pihak apabila uang yang dimintakan tidak dipenuhi oleh pengguna layanan. Alasannya untuk mendapatkan layanan prima “Uang Pelicin” tentu sudah sewajarnya dibayarkan.

Masyarakat juga tidak perlu repot-repot lagi memberikan tanda terima kasih berupa pemberian sesuatu dalam bentuk uang maupun barang ketika sudah mendapatkan pelayanan. Jika ditemukan adanya permintaan sejumlah uang, baik oleh oknum Hakim, oknum Panitera, serta oknum Pegawai yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Masyarakat juga dapat melaporkan kepada pimpinan tertinggi lembaga peradilan, Badan Pengawas Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ombudsman RI serta Komisi Yudisial, jika ditemukan praktik-praktik menyimpang tersebut. Bahkan sebelumnya  Mahkamah Agung telah mengeluarkan beberapa Peraturan Mahkamah Agung dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 04/KMA/SK/I/2017 Tentang Pembentukan Unit Pemberantasan Pungutan Liar ( UPP) di lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya. Artinya fenomena pungutan liar sudah menjadi perhatian khusus oleh Mahkamah Agung.

Praktik pungutan liar tersebut tentu berdampak pada beberapa hal. Pertama, terhambatnya akses keadilan bagi masyarakat. Hambatan ini dapat muncul disebabkan adanya biaya lebih yang harus dikeluarkan terhadap layanan di pengadilan.

Kedua, praktik tersebut bertentangan dengan semangat pembenahan institusi peradilan menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, dan aturan-aturan internal Mahkamah Agung seperti SK-KMA Nomor 26 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Publik, serta komitmen Mahkamah Agung dalam pemberantasan korupsi.

Ketiga, praktik pungutan liar tersebut akan menjadikan kualitas institusi peradilan dalam hal layanan publik buruk. Padahal, MA sendiri sudah memiliki kebijakan yang mendorong terjadinya perbaikan dan peningkatan kualitas layanan publik di pengadilan.

Perlu disadari bahwa  atasan langsung turut bertanggungjawab terhadap penyimpangan perilaku staf atau bawahannya. Semua pimpinan perlu meningkatkan pembinaan dan pengawasan kepada staf atau bawahannya dengan cara menerapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2016, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2016 , khususnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pengawasan Dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya. Selain itu, demi terwujudnya “pengadilan yang bebas pungli” secara menyeluruh, Mahkamah Agung perlu merangkul dan bekerjasama dengan berbagai pihak untuk memantau dan melaporkan para aparatur pengadilan yang menyalahi kewenangannya.

*) Praktisi hukum

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *