Dinas Pariwisata Langkat, datang jaga atau hisap Bukit Lawang?

Teks foto: Salah satu sudut Bukit Lawang nan indah memesona.

KINERJAEKSELEN.co, Medan — Bukit Lawang. Sebuah nama yang seharusnya mendatangkan kebanggaan, bukan keluhan. Surga ekowisata Langkat yang mendunia, rumah bagi orangutan sumatra, dan magnet bagi pelancong mancanegara.

Tapi ironisnya, semakin ramai dikunjungi, semakin sunyi perhatian pemerintah. Khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Langkat, yang tampaknya lebih sibuk menghitung pungutan daripada membangun.

Ya, dinas ini seperti hadir hanya untuk menarik “cuan”, bukan untuk membina. Pungutan retribusi dilakukan dengan disiplin tinggi. Pengunjung tak bisa lolos dari pos jaga yang rapi menjaga aliran rupiah.

Tapi coba lihat sekeliling. Tak ada satu pun tong sampah yang layak. Tidak ada toilet umum dari pemerintah. Musholla pun tak terlihat. Semua fasilitas dasar ditopang penuh oleh swadaya masyarakat. Ini wisata alam atau praktik pemerasan resmi?

Pers yang turun langsung ke lapangan, Jumat (4/4/2025), menyaksikan langsung betapa buruknya tanggung jawab yang diemban dinas tersebut.

Tak ada pelatihan, tak ada pendampingan pelaku wisata, dan yang lebih memalukan: tidak ada satu pun bentuk kontribusi nyata dari uang retribusi yang digembosi dari para pelancong. Bahkan, tong sampah pun harus rakyat yang siapkan, dengan ember plastik dan kantong kresek!

Ini bukan hanya kelalaian. Ini sudah keterlaluan!Pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata tak ubahnya seperti pemalak berkedok pengelola. Padahal, UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menegaskan, pemerintah wajib menjamin kenyamanan, kebersihan, dan keamanan kawasan wisata.

Tapi nyatanya, semua diserahkan ke rakyat. Dinas hanya datang memungut dan pergi begitu saja, meninggalkan beban di pundak warga dan penggiat wisata lokal.

Bukit Lawang bukan ladang emas untuk dikuras, tapi aset bangsa yang harus dirawat. Dinas Pariwisata bukan pemungut pajak jalanan, tapi seharusnya jadi mitra rakyat dalam membangun ekowisata berkelanjutan.

Bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka sudah saatnya Bupati Langkat turun tangan. Kepala Dinas Pariwisata harus segera dievaluasi. Bila perlu, dicopot dan diganti dengan sosok yang paham makna pengabdian dan pelayanan.

Aparat penegak hukum? Jangan tutup mata! Uang retribusi yang tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan tidak terlihat bentuk penggunaannya, patut dicurigai sebagai kebocoran anggaran. Penyelidikan harus dilakukan.

Jangan sampai seluruh kawasan wisata Langkat mengalami nasib yang sama: jadi ATM berjalan bagi oknum serakah!

Berikut ini sejumlah solusi:
*Audit Transparan
Semua penerimaan dan pengeluaran restribusi dari objek wisata harus diaudit secara transparan. Libatkan BPK, inspektorat, dan pihak independen.

*Revitalisasi Dinas Pariwisata
Ganti pimpinan bila terbukti tidak kompeten dan tidak amanah.

*Bangun Fasilitas Dasar
Toilet umum, musholla, tempat sampah, dan sarana edukasi lingkungan wajib disediakan pemerintah.

*Libatkan Pelaku Wisata Lokal dalam Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan.
Jangan biarkan mereka jadi korban sistem yang timpang.

*Kampanye Kesadaran Wisata Berkelanjutan.
Ini kawasan konservasi, bukan pasar malam!

Bukit Lawang bukan ladang upeti. Ini harta yang diwariskan alam untuk anak cucu kita. Maka jaga, rawat, dan kelola dengan adil.

Halo… Dinas Pariwisata, saatnya berhenti jadi tukang pungut. Jadilah pelayan rakyat yang sebenarnya. Kalau tak mampu, mundur! Jangan kotori keindahan Bukit Lawang dengan kerak ketamakan birokrasi, seperti dikutip dari telisik.net, Senin (7/4/2025) sore.

(KTS/rel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *