Puasa Sebagai Pengingat Diri

Syahril Syam

Oleh: Syahril Syam *)

Otak manusia adalah alat yang luar biasa, mampu berpikir, menganalisis, dan merespons berbagai situasi dengan cepat. Saat seseorang merasa khawatir, otak secara otomatis berusaha mengantisipasi kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Dalam proses ini, kita menggunakan kemampuan bernalar untuk menimbang risiko dan mencari jalan keluar.

Namun, seringkali, alih-alih menemukan solusi yang tepat, kebanyakan orang justru berusaha menekan perasaan tidak nyaman yang muncul, berharap rasa cemas itu akan hilang dengan sendirinya. Ada juga saat dimana seseorang mencoba merasionalisasi keadaan – mencari alasan yang terdengar masuk akal agar merasa lebih tenang, meskipun jauh di dalam hati, ia tetap merasa tertekan.

Dalam beberapa situasi, ia bahkan memilih untuk berkompromi dengan keadaan, menerima stres sebagai sesuatu yang tak terhindarkan tanpa benar-benar mencari cara untuk mengatasinya. Jika dibiarkan terus-menerus, kebiasaan ini bisa membuat seseorang terjebak dalam lingkaran kecemasan yang tak berujung, menguras energi, dan menghambat diri untuk hidup dengan lebih tenang dan bahagia.

Karena otak memiliki triliunan koneksi sinaptik, daya ingat manusia sangat kuat. Begitu kuatnya, bahkan tanpa adanya pemicu stres yang nyata, hanya dengan memikirkan sesuatu yang menegangkan, tubuh seseorang bisa bereaksi seolah-olah ancaman itu benar-benar ada.

Proses ini dapat memicu respons stres yang sama seperti saat seseorang menghadapi bahaya secara langsung. Jika pola ini terus berulang, tanpa disadari, ia masuk ke dalam kondisi stres kronis – keadaan dimana tubuh terus-menerus berada dalam mode siaga, yang pada akhirnya bisa berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental.

Dengan kata lain, semakin sering seseorang memikirkan sesuatu yang dianggap mengancam atau menakutkan, otak akan merespons seolah-olah ancaman itu benar-benar ada di hadapan dirinya. Akibatnya, tubuh mulai memproduksi hormon stres dan jika proses ini terjadi berulang kali tanpa ada ancaman nyata yang harus dihadapi, tubuh tetap berada dalam kondisi tegang dan tertekan. Ini seperti alarm darurat yang terus berbunyi meskipun tidak ada kebakaran.

Stres kronis yang muncul akibat mengingat sesuatu seringkali terjadi karena seseorang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan ingatan tersebut. Ketika sebuah pengalaman masa lalu meninggalkan kesan mendalam di hatinya – baik itu rasa takut, kecewa, sedih, atau bahkan marah – maka setiap kali ia mengingatnya, emosi itu ikut muncul kembali seolah-olah kejadian itu sedang berlangsung lagi. Hatinya terlibat dalam ingatan tersebut, membuatnya sulit dilepaskan. Akibatnya, otak terus mengaktifkan respons stres, dan tubuh pun bereaksi dengan tegang, cemas, dan tidak nyaman, meskipun situasi yang sebenarnya sudah berlalu.

Hal yang sama juga bisa terjadi ketika seseorang terlalu mengkhawatirkan masa depan. Ketika memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi, otaknya mulai bereaksi seolah-olah ancaman itu nyata, meskipun sebenarnya belum terjadi. Ia membayangkan berbagai skenario negatif, merasa cemas, dan tanpa sadar tubuh mulai memproduksi hormon stres. Semua itu hanya berasal dari pikiran kita sendiri.

Ketika kita mengingat Sang Maha Sempurna, hati kita menjadi tenteram karena kita merasa ada kekuatan yang lebih besar yang selalu menemani dan melindungi diri kita. Rasa percaya ini membawa ketenangan, mengurangi kecemasan, dan membuat hidup terasa lebih ringan. Sebaliknya, ketika seseorang terlalu banyak memikirkan hal-hal duniawi – seperti kekhawatiran tentang masa depan, kegagalan di masa lalu, atau tekanan hidup yang terus menghimpit – hatinya bisa menjadi gelisah.

Kecemasan dan ketakutan mulai menguasai pikiran, membuatnya sulit merasa damai. Jika dibiarkan terus-menerus, perasaan gelisah ini bisa berkembang menjadi kesedihan mendalam, bahkan berujung pada stres kronis. Dengan kata lain, semakin kita terhubung dengan Sang Maha Sempurna, semakin kuat ketenangan yang kita rasakan. Sebaliknya, semakin seseorang terjebak dalam kekhawatiran dunia, semakin besar kemungkinan hatinya merasa berat, lelah, dan tertekan.

Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga berfungsi sebagai alarm dalam diri kita, mengingatkan bahwa semua yang kita lakukan adalah bentuk ketaatan kepada Sang Maha Sempurna. Ketika berpuasa, kita belajar untuk mengendalikan diri, bukan hanya dari makan dan minum, tetapi juga dari emosi destruktif seperti marah, cemas, atau gelisah.

Dalam proses ini, puasa menjadi pengingat agar kita senantiasa mengingat Sang Maha Sempurna – menyadari bahwa hidup ini ada dalam genggaman-Nya dan semua yang terjadi memiliki makna dan hikmah. Dengan terus mengingat-Nya, hati pun menjadi lebih tenteram. Ketika hati tenang, pikiran-pikiran destruktif yang sering memicu stres perlahan mulai melemah dan akhirnya menghilang. Inilah mengapa puasa bisa menjadi cara alami untuk membersihkan hati dan pikiran, sehingga kita terbebas dari tekanan batin yang bisa berujung pada stres kronis.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *