Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Penggunaan Dana Desa, APBN, dan APBD untuk mendukung pendirian Koperasi Desa Merah Putih tentu saja tampak sebagai sebuah langkah besar dan berani dalam membangun fondasi ekonomi perdesaan.
Namun, dari perspektif ekonomi publik dan kebijakan fiskal, langkah ini harus dikaji secara hati-hati.
Dana publik—baik yang bersumber dari APBN, APBD, maupun Dana Desa—pada prinsipnya harus digunakan secara optimal, efisien, dan tepat sasaran.
Dalam konteks Koperasi Desa Merah Putih, penggunaan dana negara untuk modal koperasi patut dipertanyakan ketepatannya bila tidak didahului dengan studi kelayakan yang memadai.
Harus diingat bahwa tidak semua desa memiliki potensi ekonomi yang sama, dan tidak semua masyarakat desa siap mengelola koperasi sebagai lembaga bisnis.
Sehingga, bila kebijakan ini diterapkan secara seragam ke seluruh desa tanpa mempertimbangkan keragaman karakteristik ekonomi desa, maka penggunaan dana tersebut bisa menjadi inefisien, bahkan mubazir.
Terlebih lagi, dana publik yang digunakan ini akan bersaing dengan kebutuhan mendesak lain di desa, seperti infrastruktur dasar, kesehatan, dan pendidikan, yang mungkin justru lebih prioritas bagi sebagian desa.
Mencegah Tumpang Tindih dengan Program BUMDes: Tantangan Integrasi Kelembagaan Ekonomi Desa
Masalah yang tak kalah serius adalah potensi tumpang tindih antara Koperasi Desa Merah Putih dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
BUMDes sendiri adalah lembaga yang telah diamanatkan oleh UU Desa sebagai badan usaha resmi milik desa untuk mengelola potensi ekonomi lokal.
Jika Koperasi Desa Merah Putih berdiri dengan fungsi serupa tanpa pembagian peran yang jelas, maka bukan hanya tumpang tindih yang terjadi, tetapi juga konflik kepentingan dan perebutan sumber daya desa.
Akibatnya, bukan kolaborasi yang terbentuk, tetapi dualisme kelembagaan yang bisa melumpuhkan pengelolaan ekonomi desa.
Cara satu-satunya utk mencegah hal ini adalah melalui integrasi yang tegas dan jelas antara peran BUMDes dan Koperasi Desa.
Pemerintah harus duduk bersama dengan pemerintah desa, asosiasi BUMDes, dan para pakar ekonomi desa untuk membuat pedoman pembagian peran: BUMDes mengelola usaha berbasis aset desa, sementara koperasi berbasis keanggotaan masyarakat dan urusan simpan pinjam.
Tanpa kejelasan seperti ini, baik BUMDes maupun Koperasi Desa Merah Putih bisa saling berebut peran, dan akhirnya dua-duanya tidak berjalan optimal.
Dampak Jangka Panjang Skema Pendanaan terhadap Keuangan Desa dan APBN
Dari sudut pandang fiskal, membangun koperasi di 70.000 desa dengan biaya Rp 3-5 miliar per koperasi berarti total kebutuhan dana bisa mencapai Rp 210 triliun hingga Rp 350 triliun.
Ini angka yang sangat besar dan jelas akan membebani APBN jika tidak diatur dengan hati-hati.
Jk dana ini diambil dari kombinasi APBN, APBD, dan Dana Desa, MK kita harus siap dengan konsekuensi jangka panjangnya: menurunnya alokasi dana untuk sektor lain atau meningkatnya utang pemerintah pusat.
Bagi keuangan desa sendiri, bila koperasi ini gagal menghasilkan laba dan justru merugi, maka desa harus menanggung konsekuensi finansial jangka panjang, termasuk gagal bayar atas pinjaman yang diberikan oleh bank HIMBARA.
Ini dapat menjerumuskan desa ke dalam krisis fiskal lokal, di mana sebagian besar dana desa justru habis untuk menutup kebocoran koperasi daripada untuk program-program produktif lainnya.
Oleh karena itu, kebijakan ini perlu mempertimbangkan skema pembiayaan yang adil dan proporsional, serta memikirkan mekanisme mitigasi risiko gagal bayar, baik bagi koperasi maupun bagi desa itu sendiri.
Mampukah Koperasi Desa Membayar Cicilan ke Himbara? Sebuah Pertanyaan Kunci
Pertanyaan paling penting yang perlu diajukan sebelum skema ini berjalan adalah:
apakah koperasi desa benar-benar mampu menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membayar cicilan pinjaman dari HIMBARA?
Ini pertanyaan fundamental yang menyentuh aspek kelayakan bisnis koperasi tersebut.
Realitas di banyak desa menunjukkan bahwa sebagian besar desa belum memiliki unit usaha yang mapan dan sering kali masih bergantung pada bantuan pemerintah.
Jika koperasi dibangun hanya berdasarkan dana pinjaman tanpa ada rencana bisnis yang matang, maka sangat mungkin koperasi tersebut akan gagal bayar.
Apalagi, koperasi berbasis desa biasanya menghadapi pasar yang terbatas, daya beli masyarakat yang rendah, dan tantangan logistik yang tidak ringan.
Tanpa ada pembinaan bisnis yang serius, koperasi bisa gagal menjalankan usaha, sehingga tidak bisa mengembalikan pinjaman.
Ini bisa menimbulkan masalah baru: kredit macet di bank HIMBARA yang membiayai koperasi, serta rusaknya sistem keuangan desa akibat tanggung jawab utang yang tidak terbayar.
Dalam kondisi ini, koperasi yang seharusnya menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi justru berubah menjadi beban, baik bagi bank, negara, maupun desa.
Menimbang Kembali: Butuh Kajian Serius, Bukan Sekadar Program Politik Ambisius semata
Secara keseluruhan, langkah pemerintah untuk mengucurkan dana besar demi membangun koperasi desa memang lahir dari niat baik membangun ekonomi kerakyatan.
Namun, niat baik saja tidak cukup dalam dunia ekonomi dan keuangan. Kebijakan ini harus berbasis kajian empiris dan ekonomi yang matang, bukan sekadar program politis yang mengesankan perhatian kepada desa tapi menjerumuskan mereka dalam jangka panjang.
Pemerintah perlu menjawab beberapa pertanyaan mendasar sebelum program ini dieksekusi:
Apakah masyarakat desa benar-benar membutuhkan koperasi baru, atau cukup mengoptimalkan BUMDes?
Apakah ada model bisnis yang siap dijalankan koperasi?
Bagaimana penguatan kapasitas SDM dan manajemen bisnis koperasi?
Bagaimana jika koperasi gagal?
Siapa yang menanggung kerugiannya?
Tanpa jawaban yang jelas atas pertanyaan-pertanyaan ini, penggunaan dana negara untuk koperasi desa justru bisa menjadi kebijakan yang kontraproduktif.
Pemerintah perlu memastikan bahwa koperasi ini dibentuk oleh masyarakat, untuk masyarakat, dengan kontrol dan akuntabilitas yang jelas, bukan proyek dari atas yang berpotensi mengulangi kegagalan Koperasi Unit Desa.
Di sinilah letak tantangan sekaligus harapan. Jika dilakukan benar, koperasi desa bisa menjadi tonggak kemandirian ekonomi desa.
Tapi jika salah kelola, koperasi desa akan menjadi batu sandungan baru bagi ekonomi nasional dan keuangan negara.