Oleh: Syahril Syam *)
Ikhlas adalah salah satu karakter karena sifat ini mencerminkan ketulusan hati dalam setiap tindakan. Jika kita melihat manusia dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak hanya bertindak berdasarkan aturan atau kewajiban, tetapi juga berdasarkan niat yang berasal dari dalam diri.
Ketika kita membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau pujian, maka ini menunjukkan bahwa ikhlas adalah bagian dari sifat manusia yang dapat berkembang dan dipelajari. Selain itu, ikhlas bukan sekadar konsep abstrak, tetapi sesuatu yang bisa dilatih dan diperkuat melalui kebiasaan. Sama seperti kejujuran atau kesabaran, ikhlas menjadi bagian dari kepribadian kita ketika kita terbiasa melakukan sesuatu dengan niat yang murni. Oleh karena itu, ikhlas bukan hanya sebuah tindakan sesaat, tetapi bagian dari karakter manusia yang membentuk cara kita berperilaku dalam kehidupan.
Tentu saja karakter ini mesti dilatih karena ikhlas bukan sesuatu yang muncul begitu saja, tetapi perlu dilatih secara sadar agar benar-benar menjadi bagian dari karakter kita. Misalnya, ketika seseorang berbuat baik tanpa mengharapkan pujian, awalnya mungkin masih ada perasaan ingin diakui. Namun, jika ia terus melatih dirinya untuk fokus pada niat yang tulus dan mengabaikan dorongan untuk mencari penghargaan dari orang lain, lama-kelamaan keikhlasan akan menjadi bagian alami dari dirinya.
Jadi, ikhlas bukanlah sifat bawaan, tetapi keterampilan emosional dan spiritual yang bisa diperkuat dengan latihan dan kesadaran diri. Semakin kita membiasakan diri untuk berbuat dengan niat yang murni, semakin kita membangun karakter ikhlas dalam diri kita.
Kata ikhlas secara harfiah berarti murni, bersih, atau terbebas dari campuran. Dalam konteks bahasa, makna ini menunjukkan sesuatu yang tulus, tidak tercampur dengan niat atau motif lain. Oleh karena itu, dalam Islam, ikhlas diartikan sebagai melakukan suatu perbuatan dengan niat yang sepenuhnya hanya untuk Sang Maha Sempurna, tanpa ada unsur riya (pamer), mencari pujian, atau keuntungan duniawi. Dan karena itu, berada dalam kondisi gelombang otak alpha, theta, atau delta tidak berarti seseorang secara otomatis sudah ikhlas.
Gelombang otak hanya mencerminkan keadaan tubuh dan pikiran yang rileks, tetapi ikhlas adalah urusan hati dan niat seseorang. Seseorang bisa saja merasa tenang saat bermeditasi atau berdoa, tetapi jika dalam hatinya masih ada keinginan untuk dipuji atau mendapatkan keuntungan tertentu, maka itu belum bisa disebut ikhlas.
Keikhlasan bukan hanya tentang perasaan nyaman, tetapi tentang kesadaran penuh bahwa setiap perbuatan dilakukan murni karena Sang Maha Sempurna, tanpa mengharapkan imbalan dari manusia. Selain itu, kondisi gelombang otak bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tidur, musik relaksasi, atau meditasi, yang tidak selalu berhubungan dengan keikhlasan. Oleh karena itu, meskipun kondisi otak yang rileks bisa membantu seseorang lebih mudah fokus dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Sempurna, tetapi keikhlasan tetap membutuhkan kesadaran, latihan, dan niat yang benar.
Puasa bisa menjadi cara yang efektif untuk melatih keikhlasan karena ibadah ini tidak bisa dipamerkan kepada orang lain. Saat kita berpuasa, tidak ada yang tahu apakah kita benar-benar menahan lapar dan haus kecuali diri kita sendiri dan Sang Maha Sempurna. Ini mengajarkan kita untuk melakukan sesuatu bukan karena ingin dilihat atau dipuji orang lain, tetapi karena niat yang tulus. Selain itu, puasa juga melatih kita untuk mengendalikan diri dan tidak hanya mengikuti keinginan fisik semata.
Dengan menahan makan, minum, dan hawa nafsu, kita belajar bahwa tidak semua keinginan harus dituruti, dan ini membantu kita lebih fokus pada tujuan yang lebih tinggi, yaitu mendekatkan diri kepada Sang Maha Sempurna. Ketika kita terbiasa berbuat sesuatu tanpa pamrih dan tanpa berharap imbalan duniawi, maka keikhlasan akan tumbuh dalam diri. Oleh karena itu, puasa bukan hanya soal menahan lapar, tetapi juga latihan untuk membersihkan hati dan membangun kebiasaan melakukan segala sesuatu dengan niat yang benar.
Ikhlas juga punya tingkatan, dari yang paling dasar sampai yang paling tinggi. Di awal, seseorang mungkin berusaha ikhlas, tapi masih ada keinginan untuk dihargai atau dipuji orang lain. Misalnya, saat bersedekah, dalam hatinya masih berharap orang lain tahu dan mengapresiasi. Lalu ada tingkat yang lebih tinggi, dimana seseorang beribadah atau berbuat baik benar-benar hanya untuk Sang Maha Sempurna, tanpa peduli apakah ada yang melihat atau tidak. Ia mulai melakukan kebaikan secara diam-diam, tanpa harapan mendapat pujian. Namun, tingkat tertinggi dari ikhlas adalah ketika kita benar-benar menyerahkan diri kepada Sang Maha Sempurna sepenuhnya. Tidak lagi peduli dengan penilaian manusia, tidak gelisah dengan hasil dari amal, dan menerima semua ketetapan Sang Maha Sempurna dengan tenang.
Orang seperti ini hidupnya penuh ketenangan dan kebahagiaan sejati, karena hatinya sudah tertambat hanya kepada Sang Maha Sempurna. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi, dimana kita bukan hanya ikhlas dalam amal, tetapi juga dalam menerima hidup apa adanya (menerima segala ketetapan-Nya dengan penuh keimanan dan ketenangan), hingga akhirnya Sang Maha Sempurna pun meridhai. Maka wajar jika kemudian Al-Qur’an menyebutkan bahwa “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya” (QS 89:27-28).
@pakarpemberdayaandiri