KINERJAEKSELEN.co, Jakarta – Rencana pemerintah yang akan mengkonversi penggunaan LPG 3 kg, mendapat penolakan dari berbagai kalangan.
Wakil Ketua MPR Syarif Hasan, turut angkat bicara, terkait kebijakan pemerintah mengkonversi LPG 3 kg, yang dinilainya sangat terburu-buru.
Menurut Syarif, pemerintah seharusnya tidak terburu-buru memaksakan penggunaan kompor listrik kepada rakyat. Menurut dia, kebijakan tersebut justru akan semakin membebani rakyat, khususnya para pelaku UMKM.
Politisi Partai Demokrat ini berujar, jika pemerintah beralasan beban subsidi yang semakin membengkak sehingga menekan APBN, maka alasan tersebut patut dipertanyakan.
“ Saya melihat rencana pemerintah mengkonversi LPG menjadi kompor listrik adalah kebijakan yang terburu-buru dan tanpa persiapan. Jika klaim pemerintah adalah untuk menghemat APBN dan mengatasi over supply listrik PLN, maka sebenarnya persoalan ini akan teratasi dengan sendirinya dengan aktifitas industri yang akan mulai menggeliat,” kata Syarif Hasan melalui keterangannya di Jakarta, Rabu (28/9/2022).
Syarif menambahkan, mega proyek pembangkit lisitrik 35 GW dengan asumsi pertumbuhan ambisius 6 atau 7 persen ternyata melesat.
“ Adakalanya kita memang perlu menahan dan mengukur diri,” tuturnya.
Dampak dari kebijakan mengkonversi penggunaan LPG 3 kg, kata dia, akan menyulitkan para pelaku UMKM yang terbebani dengan penggunaan kompor listrik ini.
Pada tahun 2021, terdapat 64,2 juta UMKM dengan serapan tenaga kerja 117 juta jiwa.
Syarif menilai, jika perkara over supply ini dijadikan landasan konversi energi, maka alasan tersebut sangat rapuh. Dengan tren pertumbuhan yang melandai, bahkan sempat terkontraksi, kebutuhan energi terutama bagi industri juga minim.
Sehingga, menurut dia, membebankan kelebihan pasokan listrik kepada rakyat bukanlah pikiran yang bijak.
“ Jika perkara over supply bersifat insidentil, sementara pemerintah tidak mampu menjamin keberlanjutan pasokan listrik, ini akan menjadi persoalan besar yang ditanggung sebagian besar rumah tangga miskin nantinya,” ujarnya.
Politisi senior Partai Demokrat ini kembali mengingatkan, pemerintah jangan suka mengambil kebijakan berdasarkan perkara insidentil dan tanpa kajian dan persiapan yang matang. Subsidi, tegas dia, adalah kewajiban negara guna mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
“ Ini adalah bukti kehadiran negara. Menyalahkan subsidi sebagai beban fiskal membuat kita akan bertanya dimana dan apa peran pemerintah? Jikapun ternyata subsidi tidak tepat sasaran, jelas persoalannya pada kinerja pemerintah sendiri. Ibarat pepatah, janganlah mengusir tikus dengan cara membakar lumbung padi,” pungkas Syarif.
[nug/red]