Relevansi Kategori Belanja KL dalam Efisiensi Anggaran: Penyisiran Kembali Anggaran dan Dampaknya pada APBN 2025

Ekonom Achmad Nur Hidayat

Oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Penundaan efisiensi anggaran oleh pemerintah dengan alasan polemik yang muncul di berbagai kementerian dan lembaga adalah langkah yang memperlihatkan kehati-hatian.

Dalam konteks ini, keputusan Presiden untuk meminta rekonstruksi ulang porsi anggaran yang akan dipangkas menandakan bahwa ada ketidakseimbangan dalam proses penyisiran awal.

Dengan menggunakan pendekatan tradisional dalam pembagian anggaran seperti belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal, memang sering kali sulit mengukur dampak langsung terhadap layanan publik.

Oleh karena itu, gagasan untuk mengkategorikan belanja dalam model Quartil (Q1-Q5) menjadi solusi yang lebih rasional dan transparan.

Dalam postur APBN 2025, otak-atik belanja yang tidak mempertimbangkan efektivitas layanan publik dapat berujung pada inefisiensi struktural yang berkepanjangan.

Jika pemerintah sekadar memangkas belanja tanpa pemetaan yang jelas terhadap dampaknya, maka bisa terjadi pengurangan anggaran pada aspek yang sebenarnya esensial (Q1-Q3), sementara belanja yang kurang relevan (Q4-Q5) justru tetap berjalan karena alasan administrasi atau kelembagaan.

Contohnya, di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), belanja barang seperti pemeliharaan alat deteksi tsunami memiliki peran yang sangat krusial bagi keselamatan masyarakat.

Pemangkasan anggaran belanja barang dalam kategori ini bisa berakibat fatal karena keterlambatan atau ketidaktepatan deteksi bencana alam.

Oleh karena itu, perlu ada pemetaan ulang yang lebih akurat dan berbasis pada relevansi anggaran terhadap output dan outcome layanan publik.

Dampak Perubahan Nomenklatur Anggaran terhadap Kinerja Menteri dan Target Penerimaan 2025

Saat ini, pemerintah tampaknya masih terfokus pada perubahan nomenklatur dan pembagian anggaran yang dilakukan di awal tahun.

Meskipun langkah ini penting dalam rangka menyesuaikan kebijakan fiskal dengan prioritas pembangunan, namun jika tidak dilakukan dengan baik, hal ini dapat menghambat efektivitas kerja menteri serta target penerimaan negara pada 2025.

Salah satu tantangan utama dari perubahan nomenklatur anggaran adalah waktu yang diperlukan untuk beradaptasi.

Setiap kementerian dan lembaga harus menyesuaikan rencana kerja mereka dengan struktur anggaran yang baru, termasuk mengatur ulang program-program prioritas.

Jika proses ini berlangsung terlalu lama, maka bisa terjadi keterlambatan dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada realisasi penerimaan negara.

Lebih lanjut, perlambatan penerimaan yang sudah terjadi pada 2024 menjadi tantangan tersendiri.

Pemerintah harus berusaha menutup celah penerimaan dengan cara meningkatkan kepatuhan pajak, memperbaiki efektivitas insentif fiskal, dan memastikan bahwa belanja yang dilakukan benar-benar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Jika tidak, maka target penerimaan pada 2025 akan sulit dicapai, yang pada akhirnya berpotensi meningkatkan defisit anggaran.

Cara Efisiensi yang Seharusnya Dilakukan

Efisiensi anggaran yang efektif tidak hanya sebatas memangkas belanja secara acak, tetapi harus berbasis pada analisis yang komprehensif terhadap dampak dari setiap kategori belanja.

Dengan pendekatan pembagian anggaran berdasarkan kategori Quartil (Q1-Q5), pemerintah dapat lebih mudah mengidentifikasi area mana yang harus dipertahankan dan mana yang bisa diefisiensikan.

Kategori Q1, yang mencakup biaya yang langsung dan relevan dengan pelayanan publik, seharusnya tidak dipangkas sama sekali. Ini termasuk anggaran yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, infrastruktur publik, serta program sosial yang langsung dirasakan oleh masyarakat.

Contohnya, dalam anggaran Kementerian Perhubungan, terdapat honorarium untuk tenaga non-ASN yang bertugas menjaga pintu perlintasan kereta api.

Dalam beberapa kasus, efisiensi anggaran dilakukan dengan memangkas honorarium ini karena bukan belanja pegawai ASN langsung, padahal mereka adalah bagian dari layanan publik langsung dan relevan (Q1).

Jika tenaga penjaga lintasan kereta api hilang akibat pengurangan anggaran, maka layanan publik langsung akan terganggu, dan potensi kecelakaan di perlintasan pun meningkat, yang berujung pada risiko korban jiwa.

Oleh karena itu, penyisiran anggaran harus dilakukan dengan hati-hati agar efisiensi tidak mengorbankan aspek keselamatan dan pelayanan yang vital bagi masyarakat.

Kategori Q2, yang mencakup biaya yang tidak langsung namun relevan dengan layanan, juga sebaiknya tetap dijaga. Anggaran dalam kategori ini sering kali berkaitan dengan operasionalisasi kebijakan, penelitian, serta peningkatan kapasitas aparatur negara yang memiliki efek jangka panjang terhadap efisiensi birokrasi.

Contohnya, di Kementerian Perhubungan, anggaran untuk pelatihan keselamatan transportasi bagi operator kendaraan umum, meskipun tidak secara langsung menyentuh masyarakat, tetap esensial dalam menjamin keamanan dan kelancaran layanan publik di sektor transportasi.

Jika anggaran ini dipangkas, maka kemampuan operator dalam menangani situasi darurat dan mengurangi kecelakaan dapat berkurang secara signifikan.

Kategori Q3 merupakan biaya yang tidak langsung dan tidak relevan dengan layanan publik secara langsung, tetapi berfungsi sebagai enabler atau pendukung utama.

Belanja dalam kategori ini mencakup pengadaan teknologi informasi, pelatihan SDM yang tidak langsung berkaitan dengan pelayanan publik, serta proyek-proyek pendukung kelembagaan.

Contohnya, layanan lift dan AC (air conditioner) untuk para karyawan ASN mungkin tidak berdampak langsung pada pelayanan publik, tetapi memiliki peran penting dalam menjaga produktivitas dan kenyamanan kerja pegawai.

Jika layanan ini dihilangkan atau dikurangi secara drastis, maka efektivitas kerja birokrasi dapat terganggu. Sementara efisiensi bisa dilakukan di beberapa bagian, pemangkasan yang berlebihan di sektor ini bisa berdampak negatif terhadap efisiensi operasional di masa depan.

Kategori Q4 dan Q5 adalah area yang paling layak untuk efisiensi.

Q4 mencakup belanja yang tidak langsung dan tidak relevan dengan layanan publik, tetapi memiliki peran pendukung sampingan, seperti berbagai kegiatan seremonial, perjalanan studi banding ke luar negeri yang tidak memberikan manfaat signifikan terhadap kebijakan, serta rapat antara DPR dan mitra yang diadakan di hotel mewah daripada di gedung DPR yang lebih hemat biaya.

Sementara itu, Q5 mencakup belanja yang tidak langsung, tidak relevan, dan tidak memiliki nilai tambah signifikan, seperti anggaran untuk fasilitas non-esensial di lembaga pemerintahan, meeting di Bali atau kawasan pariwisata saat konsinyering yang tidak memiliki urgensi yang jelas.

Pemangkasan belanja di kedua kategori ini dapat membantu meningkatkan efisiensi anggaran tanpa mengorbankan kualitas layanan publik.

Catatan Penting: Harus Ada Itikad Baik Para Petinggi ASN

Pemerintah perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam efisiensi anggaran.

Model pengkategorian Quartil (Q1-Q5) bisa menjadi solusi untuk memastikan bahwa efisiensi benar-benar dilakukan pada sektor yang tidak memiliki dampak signifikan terhadap layanan publik.

Penundaan pembahasan efisiensi anggaran oleh pemerintah dapat menjadi momentum untuk melakukan rekonstruksi ulang porsi anggaran yang lebih rasional dan berbasis pada dampak nyata terhadap masyarakat.

Selain itu, perubahan nomenklatur anggaran harus dilakukan dengan perencanaan yang matang agar tidak menghambat kinerja kementerian dan target penerimaan negara pada 2025.

Dalam kondisi penerimaan yang melambat, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam menyusun kebijakan fiskal agar tetap dapat menjaga keseimbangan antara efisiensi belanja dan pencapaian target penerimaan negara.

Dengan pendekatan yang tepat, efisiensi anggaran bisa menjadi alat untuk memperbaiki efektivitas pemerintahan tanpa mengorbankan kualitas layanan publik.

END

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *